Kant juga senantiasa meyakini bahwa kebohongan sangat dekat dengan ‘slippery slope’ (lereng licin) yang mengakibatkan sebuah tindakan ketidakjujuran yang kecil akan terus berkembang menjadi kebohongan yang lebih besar dan menghasilkan jaringan kebohongan dengan konsekuensi yang meluas.
Berbohong dan Konflik Moral
Praktik kebohongan, yang telah ada sepanjang sejarah peradaban manusia, menghasilkan dilema etika dan konflik antarpribadi.
BACA JUGA:Banyaknya Kasus Kekerasan Terhadap Anak, Ini yang Dilakukan Polresta dan Tokoh Agama
Masalah yang melekat pada kebohongan terletak pada potensinya untuk menciptakan masalah, bukan menyelesaikannya. Berbohong jarang menghasilkan kesuksesan yang hakiki, dan konsekuensi akhirnya, baik besar atau kecil, bisa sangat parah.
Selama ini telah banyak berlaku skema pembuktian kebohongan. Misalnya, saat seseorang mulai berbohong, tubuhnya mengirimkan sinyal kontradiktif untuk menyebabkan otot wajah berkedut, ekspansi dan kontraksi pupil, keringat, kemerahan pipi, peningkatan kedipan mata, tremor tangan, dan peningkatan detak jantung. Ini merupakan dasar dari instrumen pendeteksi kebohongan.
Selain itu, gerakan tertentu yang dibuat secara tidak sadar terlihat pada mereka yang berbohong, seperti penutup mulut yang konstan, menyentuh hidung, menggosok mata, menggaruk sisi leher yang tidak gatal, dan mengusap telinga.
Salah satu tanda paling jelas adalah bahwa pembohong itu menutup telapak tangannya dan mengalihkan pandangan matanya ke arah lain ketika berbicara, untuk menghindari kontak mata.
BACA JUGA:Warga Minta Perbaikan Jalan Jangan Asal, Baru Sebentar Rusak Lagi
Kebohongan yang dilakukan ini umumnya memiliki tujuan yang berbeda, namun persamaannya adalah karena memiliki tujuan untuk menyembunyikan kebenaran.
Kita tentu lazim mendengar istilah “berbohong untuk kebaikan”. Praktik berbohong semacam ini dianggap berterima karena biasanya tidak menyakiti siapapun.
Bahkan, kebohongan jenis ini juga dianggap sebagai kewajiban moral terutama jika tujuannya adalah untuk melindungi orang yang dicintai dari bahaya.
Bersandar pada kerangka berpikir ini, tampaknya ‘berbohong untuk kebaikan’ dapat diterima, bahkan diperlukan, dan menjadi bagian dari kehidupan; walaupun bisa jadi kita tidak menyukai kebohongan.
BACA JUGA:Pemilu Awal Radar Cirebon: Eti Masih Teratas, tapi yang Abstain Juga Banyak
Kerangka berpikir semacam ini menyisakan pertanyaan yang lebih luas, yaitu apakah berbohong merupakan solusi yang berkelanjutan dan etis terhadap dilema moral yang kompleks?
Konsensus yang ada saat ini menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terjadi. Bahaya yang melekat pada kebohongan, konsekuensi yang rumit, dan terkikisnya kepercayaan yang diakibatkannya menjadikan praktik ini tidak berkelanjutan dan patut dipertanyakan secara moral.