Berbohong, dengan alasan menjaga citra politik, tidak pernah dapat dianggap baik karena tetap ada pengkhianatan terhadap moral (penghormatan terhadap martabat orang lain).
Seorang pejabat politik mungkin saja melalukan kebohongan yang bersifat protektif (melindungi kepentingan yang lebih besar).
Alasan-alasan ini dapat mencakup masalah keamanan, kepentingan politik, mempertahankan kekuasaan, atau mengendalikan opini publik. Namun, hal tersebut tetap saja tidak dapat dibenarkan.
Namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua institusi politik atau pejabat politik melakukan kebohongan yang disengaja.
BACA JUGA:Masjid Raya Attaqwa Gelar Rapat Koordinasi MRA
Banyak tindakan yang dimotivasi oleh faktor-faktor kompleks yang mungkin tidak dapat secara langsung dilihat oleh kita (masyarakat).
Oleh sebab itu, transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi terbuka merupakan prinsip penting untuk menjaga kepercayaan.
Meskipun moralitas kebohongan mungkin memiliki perspektif yang bertentangan, praktik dan nilai kebohongan selalu muncul dalam praktik komunikasi kita dalam berbagai konteks.
Esai ini ingin menunjukkan bahwa “mengucapkan kebenaran” tidak hanya masuk akal secara etis tetapi juga mengandung nilai intrinsik (pilihan moral masing-masing pihak).
BACA JUGA:Wajah Baru OSG Memberikan Kontribusi Positif bagi Daerah
Pilihan ada pada kita masing-masing, menjadi manusia yang bermoral, menjadi manusia politik yang bermoral, atau menjadi manusia yang berkompromi pada praktik kebohongan.
Namun, esai ini ingin menegaskan kembali bahwa, dalam menavigasi lanskap moral kebohongan, kita akan mendapati bahwa “mengucapkan kebenaran” adalah bentuk pemberian rasa hormat dan penerimaan rasa hormat secara bersamaan. (*)
Penulis adalah Penelaah Teknis Kebijakan (Klerek) pada Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan, Sekretariat Daerah Kota Cirebon