Michiko Kakutani, dalam bukunya yang berjudul The Death of Truth: Notes on Falsehood in the Age of Trump (2018) meyampaikan bawa zaman ini adalah era matinya kebenaran dan kejayaan kebohongan.
BACA JUGA:PAN-PDIP Bisa Ulang Kesuksesan Pilwalkot 2003
Konon, inilah era post-truth. Dalam istilah lain, kondisi ini pada akhirnya akan memunculkan sebuah hiperrealitas.
Hiperrealitas adalah istilah yang digunakan oleh Jean Baudrillard (seorang filsuf komtemporer berkebangsaan Perancis) untuk menjelaskan keadaan runtuhnya realitas; yang diambil alih oleh rekayasa model-model (citraan, halusinasi, simulasi), yang dianggap lebih nyata dari realitas sendiri sehingga perbedaan antara keduanya menjadi kabur.
Dalam ranah politik, kebohongan telah berumur sangat tua. Menyampaikan informasi, yang sengaja atau tidak, bernuansa kebohongan seolah telah menjadi taktik dan strategi dalam berpolitik.
Kita tentu sudah terlalu sering mendengar narasi kebohongan yang diproduksi, dimodifikasi, dikemas, dan disebarluaskan untuk semata kepentingan politik tanpa peduli pada konsekuensi moral dan daya rusak yang ditimbulkannya. Apalagi, di era media sosial hari ini, amplifikasi kebohongan seolah mencapai puncaknya.
BACA JUGA:7 Nama Serahkan Formulir ke Gerindra
Pada titik ini, para pelaku komunikasi politik seharusnya memiliki kesadaran penuh atas pilihan untuk berbohong atau tidak.
Algoritma media sosial, misalnya, membuat para pengguna media sosial hanya akan menerima informasi yang sesuai dengan preferensinya.
Inilah yang disebut sebagai efek echo chamber, yang menjadikan media sosial seolah menjadi ruang tertutup yang hanya memantulkan gema atau pandangan yang telah dipilih oleh para penggunanya.
Lebih jauh, pengguna media sosial juga cenderung lebih percaya kepada informasi (termasuk berita bohong atau hoaks) yang disebarluaskan oleh teman dekat atau kelompoknya.
BACA JUGA:Bupati Imron Minta PKK dan DWP Tingkatkan Kualitas SDM
Hal ini yang menyebabkan sebuah informasi, meskipun sebenarnya hoaks, akan tetap menyebar melalui ruang-ruang privat media sosial.
Kondisi ini memunculkan apa yang disebut sebagai efek filter bubble (situasi ketika para pengguna media sosial cenderung hidup dalam gelembung keyakinannya sendiri.
Akibatnya, terjadilah polarisasi masyarakat dalam realitas media sosial yang berpotensi memunculkan polarisasi dalam kehidupan nyata.
Akibat paling fatal dari amplifikasi kebohongan adalah luruhnya batas antara kebenaran dan kebohongan. Akal sehat menjadi lumpuh.