BACA JUGA:Bupati Imron Buka Pameran Keris Nasional
Daya kritis terhadap sebuah informasi mati seketika. Yang mengemuka kemudian hanya sebatas opini, emosi, keyakinan pribadi, dan kepentingan pribadi.
Kalau hal ini sampai terjadi, maka benarlah apa yang sedari dulu telah diucapkan oleh Jozef Goebbels (Menteri Propaganda pada era Nazi Jerman), yaitu "Sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik.
Kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran”. Dalam realitas masyarakat yang memandang kebohongan sebagai kebenaran seperti ini, sungguh diperlukan kemampuan mengambil jarak, melihat fakta secara jernih dan menimbang kebenaran.
Kebohongan dalam Komunikasi Politik
BACA JUGA:Beranikah Batalkan Perda PBB-P2?
Di awal telah banyak disinggung bahwa kebohongan pribadi akan merusak harmoni antarpribadi. Selain itu, ada juga pertentangan moral yang menimbulkan penghinaan terhadap martabat dari orang yang dibohongi.
Dalam konteks politik, kebohongan memiliki potensi menciptakan polarisasi terhadap eksistensi sebuah informasi. Polarisasi tersebut yang menyebabkan terciptanya konflik dan perbedaan pandangan politik yang ekstrem.
Post-truth dan hiperrealitas adalah keniscayaan dalam penurunan kapasitas masyarakat secara umum dalam menimbang kebenaran sebuah informasi.
Di sisi lain, politik, insititusi politik, atau jabatan politik pasti mengedepankan citra (image) untuk memancing dampak elektoral dan kemudian mempertahankan kekuasaan.
BACA JUGA:Cifest Kick Off Harlah Ke-597 Cirebon
Padahal, citra hanyalah sesuatu yang ditangkap secara perseptual dan tidak memiliki eksistensi substansial.
Sebagaimana telah disampaikan di awal, kebohongan adalah fondasi yang ringkih dalam membangun sebuah realitas.
Pencapaian politik, sebaik dan seburuk apapun, idealnya dapat disampaikan secara jelas dengan menghilangkan niat membohongi atau memanipulasi sebuah fakta politik.
Kebohongan, baik dalam kacamatan filsafat Immanuel Kant dan wacana etika kontemporer, adalah sebuah praktik yang memiliki sifat sangat rumit. Berbohong, apa pun niatnya, penuh dengan kompleksitas moral dan konsekuensi potensial.
BACA JUGA:Ratusan Siswa Mengikuti Casting Film Layar Lebar