Quo Vadis Kesejahteraan Guru
Ilustrasi guru.-istimewa-
Oleh: Salman Hanafi*
JIKA kita berbicara soal kesejarahteraan guru akan menjadi pengharapan yang tidak akan ada ujungnya dan entah kapan akan terhenti. Khususnya mereka yang berstatus honorer, upah mereka masih jauh dari kata layak.
Berdasarkan data dari Institute for Demographic and Poverty Studies (IDEAS), 42% guru dan 74% guru honorer di Indonesia memiliki penghasilan kurang dari 2 juta rupiah per bulan.
Bahkan, sebagian kecil di antara mereka hanya menerima upah kurang dari 500 ribu rupiah setiap bulan (IDEAS, 2024).
BACA JUGA:Puluhan Hektare Sawah Terendam
Sementara menurut Katadata, gaji guru terendah di Asia Tenggara selain Indonesia Rp5,5 juta-Rp11,2 juta (2023).
Ketidakmampuan penghasilan utama mencukupi kebutuhan hidup membuat banyak guru, terutama guru honorer, terpaksa mencari pekerjaan sampingan.
Menurut riset IDEAS (2024), lebih dari 55,8% guru di Indonesia memiliki pekerjaan tambahan, seperti berdagang, menjadi ojek online, atau membuka les privat.
Pekerjaan sampingan ini menyita waktu dan energi mereka, yang seharusnya digunakan untuk fokus mengajar dan mempersiapkan materi pendidikan.
BACA JUGA:Jaga Kondusivitas Daerah, Polisi Gencarkan Patroli Malam Hari
Lebih jauh lagi, kondisi finansial yang buruk membuat banyak guru terjebak dalam jeratan utang, terutama dari pinjaman online ilegal. Data riset NoLimit (2024) menunjukkan bahwa 42% masyarakat yang terjerat pinjol ilegal berasal dari profesi guru.
Akses pinjaman yang mudah, namun berbunga tinggi, sering kali menjadi solusi instan bagi para guru untuk menutupi kekurangan finansial.
Namun, hal ini justru memperburuk keadaan mereka. Guru yang terjerat utang tidak hanya kehilangan stabilitas finansial, tetapi juga menghadapi tekanan psikologis yang mengganggu kinerja mereka.
Dampaknya tidak hanya dirasakan oleh guru, tetapi juga oleh siswa yang kehilangan perhatian penuh dari pengajar.