PMK Tentang PPN Meresahkan, Komisi XI DPR RI Segera Panggil Kemenkeu

Ketua Komisi XI DPR RI, Misbakhun.-parlementaria dpr-radar cirebon

JAKARTA- Perintah Presiden Prabowo Subianto soal tarif Pajak Pertambahan Nilai (PPN) sebesar 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah dinilai tak bisa diterjemahkan dengan baik oleh Kementerian Keuangan (Kemenkeu). Penilaian itu mengacu pada Peraturan Menteri Keuangan (PMK) soal Pemberlakuan PPN. PMK itu dinilai membingungkan dan menimbulkan keresahan.

Hal itu seperti dikatakan Ketua Komisi XI DPR RI Misbakhun. Karena terjadi polemik sekaligus meresahkan, kata Misbakhun, pihaknya dalam waktu dekat akan memanggil jajaran Kementerian Keuangan (Kemenkeu).

Diketahui, Presiden Prabowo Subianto menghendaki tarif PPN yang berlaku untuk barang/jasa nonmewah adalah 11 persen, bukan 12 persen. Tapi, Peraturan Menteri Keuangan (PMK) terbaru yang dikeluarkan Kemenkeu memilih mengatur bahwa tarif dasar PPN yang berlaku adalah 12 persen. 

Meskipun, pada akhirnya, Presiden Prabowo Subianto dengan jelas menyatakan pada tanggal 31 Desember 2024 bahwa kenaikan tarif PPN dari 11 persen menjadi 12 persen hanya berlaku untuk barang dan jasa mewah.

BACA JUGA:MBG Dimulai 6 Januari 2025, Pemda di Cirebon Belum Terima Petunjuk dari Pusat

“Memang ada faktor pengali atau DPP (Dasar Pengenaan Pajak, red) nilai lain sebesar 11/12 dari harga jual sehingga hasil akhir nilai PPN yang dipungut (untuk barang nonmewah) tetap 11 persen, alias PPN tidak mengalami kenaikan tarif. Tetapi, peraturan ini menimbulkan keresahan di masyarakat. Beberapa perusahaan retail telanjur memungut PPN 12 persen,” kata Misbakhun dalam keterangan tertulis dan dipubliksasikan laman resmi DRI RI, dikutip pada Minggu (5/1/2024).

Politisi Partai Golkar ini bahkan mempertanyakan loyalitas Direktur Jenderal Pajak Suryo Utomo dan memintanya untuk mundur dari jabatannya. Dalam waktu dekat, Komisi XI DPR pun berencana memanggil jajaran Kemenkeu untuk membahas hal itu.

“Tidak seharusnya DJP membuat penafsiran atau ketentuan yang berbeda dari perintah presiden sehingga bisa berakibat timbulnya ketidakpercayaan masyarakat kepada pemimpin tertingginya,” tegas Misbakhun.

Di sisi lain, Misbakhun menilai UU Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (HPP) tidak mengandung larangan penerapan multitarif pajak pertambahan nilai (PPN). Karena itu, ia menyayangkan penerapan teknis dalam PMK Nomor 131 Tahun 2024 yang menggunakan dasar pengenaan pajak (DPP) dengan nilai lain, yaitu 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor.

BACA JUGA:Dimulai 6 Januari 2025, MBG Harus Pakai Bahan Baku dari Desa

“Padahal, sangat jelas bahwa UU HPP Pasal 7 tidak ada larangan soal multitarif PPN sehingga tidak ada larangan soal penerapan tarif PPN 11 persen dan PPN 12 persen bersamaan. Tarif PPN 11 persen untuk yang tidak naik, dan tarif PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah,” ujarnya.

UU HPP Pasal 7 juga secara eksplisit tidak melarang penerapan tarif ganda. Tarif 11 persen tetap untuk barang dan jasa biasa, sementara tarif 12 persen hanya dikenakan pada barang dan jasa mewah. Hal ini menurut dia seharusnya bisa diterapkan bersamaan tanpa menimbulkan kebingungan.

Misbakhun juga mengatakan bahwa penyusunan aturan teknis seperti PMK seharusnya dengan bahasa yang lebih sederhana dan tidak menimbulkan multitafsir. Lebih lanjut, ia menyoroti ketentuan dalam PMK 131 Tahun 2024 yang menggunakan DPP dengan nilai lain, yaitu 11/12 dari harga jual, penggantian, atau nilai impor. 

Ketentuan ini, kata dia, menimbulkan kesalahpahaman di tengah masyarakat karena beberapa pelaku usaha mulai memungut PPN sebesar 12 persen. Misbakhun juga mengkritik persiapan yang terlalu singkat untuk pelaksanaan perubahan tarif PPN per yanggal 1 Januari 2025. 

Tag
Share