Pilkada Kota Cirebon: Partisipasi Pemilih dan Surat Suara Tak Sah Jadi Sorotan

Tiga paslon Pilkada Kota Cirebon saat mengikuti debat kandidat.-seno dwi priyanto-radar cirebon

BACA JUGA:Siap Hadapi Libur Nataru

Ke depan, kata Agung, masyarakat agar bisa terus diedukasi agar pemilu berikutnya partisipasi jauh lebih baik. Termasuk meningkatkan lagi peran pemerintah dalam mengadakan kegiatan pendidikan politik bagi seluruh segmen masyarakat.

KECENDERUNGAN PRAGMATISME DI MASYARAKAT

Rendahnya partisipasi pemilih serta banyaknya surat suara tidak sah saat helatan pemilihan calon walikota-wakil walikota Cirebon hendaknya menjadi perhatian bersama, terutama oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU) selaku penyelenggara. 

Ada banyak faktor yang menjadi penyebabnya. Termasuk adanya kecenderungan pemilih yang bersikap lebih pragmatis, daripada mengutamakan rasionalitas. Rendahnya partisipasi pemilih dalam Pilwalkot Cirebon 2024 tercermin dari tingkat partisipasi pemilih hanya 66,2 persen. Dengan kata lain, dari sebanyak 255.779 orang yang terdaftar di DPT KPU Kota Cirebon, hanya 169.112 orang saja yang datang dan mencoblos di TPS.

Hal lain yang cukup menarik adalah tngginya angka suara tidak yang yang mencapai 8,7 persen atau sebanyak 14.746 dari 169.112 surat suara yang masuk. Angka sebanyak ini bisa mendudukkan setidaknya empat calon anggota legislatif di kursi DRPD Kota Cirebon.

BACA JUGA:Kasus TB Kota Cirebon Lebih Tinggi Dibandingkan Tingkat Nasional

Pengamat politik, Sutan Aji Nugraha mengatakan bahwa rendahnya tingkat partisipasi pemilih serta tingginya angka surat suara tidak sah semakin menguatkan adanya kecenderungan pemilih yang bersikap lebih pragmatis.

Karakteristik pemilih di Kota Cirebon sejatinya merupakan pemilih yang cair dan dinamis. Hal ini bisa dilihat dari partai pemenang di Kota Cirebon yang silih berganti pada setiap beberapa kali pelaksanaan Pemilu. Pilkada sendiri, lanjutnya, merupakan representasi dari pertarungan semua variabel. Bukan saja “menjual” program dan visi misi, pilkada juga tidak lepas dari faktor partai, ketokohan, jaringan, hingga uang.

Nah, terkait kecenderungan sikap pragmatis oleh masyarakat ini, Aji menilai bahwa hal ini terjadi karena sikap pragmatis juga yang ditampilkan oleh para elit politik. Terlebih selama ini, dengan karakteristik pemilih yang dinamis dan tidak loyal di Kota Cirebon, keterikatan antara partai politik dengan masyarakat sangatlah rendah.

Pasalnya, partai politik kerapkali menempatkan pemilih sebagai objek politik saja. Sangat jarang sekali partai politik melibatkan masyarakat selaku konstituen dalam menentukan keputusan-keputusan penting, termasuk dalam mengusung calon di pilkada. 

BACA JUGA:Dikhawatirkan Pengaruhi Okupansi

“Sehinga sebagian besar masyarakat maupun kelompok, sudah paham betul apa orientasinya setiap perhelatan pemilu, baik pilkada maupun pileg," ucap Sutan Aji Nugraha kepada Radar Cirebon, Minggu (1/12/2024).

Maka bukan sesuatu yang aneh ketika masyarakat secara terang-terangan menyampaikan bahwa Ia hanya mau menyalurkan hak suaranya, jika ada imbalan tertentu saja. Sementara jika tidak ada imbalan, Ia merasa tak lagi berkepentingan untuk ikut serta dalam memilih.

“Selama ini masyarakat merasa hanya dijadikan objek saja oleh partai politik, makanya mereka juga ingin ikut menjadi “pemain”. Jadi masyarakat juga semakin pragmatis. Kalau mau dipilih, ya harus ada imbalan," ujarnya.

Tag
Share