Aurat Politik
Ilustrasi berebut kursi di dunia politik.--radar bojonegoro
BACA JUGA:Ini Kata Pemerhati Komunikasi Politik Soal Pilbup Majalengka
Dalam tradisi filsafat Barat, segala hal memang cenderung didasarkan pada apa yang disebut sebagai logosentrisme atau metafisika kehadiran (metaphysics of presence).
Logosentrisme merupakan sistem metafisik yang mengandaikan logos atau kebenaran transendental di balik segala hal yang tampak di permukaan.
Logosentrisme, secara baku, adalah istilah yang diperkenalkan oleh seorang filsuf Jerman bernama Ludwig Klages pada awal tahun 1990an.
Konsep tersebut mengacu pada tradisi ilmu pengetahuan dan filsafat Barat yang menganggap kata-kata dan bahasa sebagai ekspresi mendasar dari realitas eksternal.
BACA JUGA:Kerugian Sekitar Rp164 Juta, Rumah Milik Mi'ah Ludes Terbakar
Pandangan ini menganggap logos sebagai sesuatu yang paling penting secara epistemologis dan selalu merujuk pada suatu objek asli yang direpresentasikan oleh logos.
Oleh sebab itu, menurut logosentrisme, logos merupakan representasi ideal dari cita-cita Platonis. Jacques Derrida adalah salah satu filsuf modern yang banyak mengkritik gagasan dan teori yang terlalu mengagung-agungkan logosentrisme.
Derrida berargumentasi bahwa konsep atau makna yang pertama kali eksis tidak selalu menjadi sebuah kebenaran yang utama dan membuat makna setelahnya hanya menjadi tambahan semata.
Kalau hal itu yang terjadi, maka kebenaran makna (dalam sebuah teks) akan bersifat tunggal dan mutlak (lihat konsep totalitas dan konsep esensi).
BACA JUGA:Jadi Gedung Terbaik di Wilayah Polres se-Polda Jawa Barat, Gedung SPKT Tatag Trawang Diresmikan
Derrida memang menawarkan konsep yang problematis dan mengundang perdebatan; kemudian konsep tersebut disebut dekonstruksi.
Melalui dekonstruksi, makna dalam teks tidak boleh hanya sekadar menghadirkan kembali makna yang asli dari teks (filsuf terdahulu menyebutnya sebagai objektivitas makna).
Oleh sebab itu, sebuah teks harus didekati dengan cara tidak secara kaku mempertahankan makna lama (makna yang telah ada sebelumnya) tetapi harus secara eksploratif menemukan suatu makna yang sungguh-sungguh menggambarkan hubungan antara makna teks dan konteks yang melingkupinya.
Artinya, sebuah makna yang disebut ‘baru’ tidak secara agresif menyingkirkan makna-makna terdahulu tetapi harus diformulasikan menjadi dialektika yang dinamis sebagai wujud penolakan terhadap kebenaran absolut.