Aurat Politik
Ilustrasi berebut kursi di dunia politik.--radar bojonegoro
Oleh: Syarifuddin*
Prolog
Sebagai seorang yang pernah ‘dibesarkan’ secara ilmiah untuk menggumuli teks dan makna, saya memang menyenangi analisis teks dalam puspa ragam teori.
Analisis teks yang dimaksud tentu saja tidak hanya berkutat pada urusan struktur dan teknik tetapi berusaha dapat masuk pada ceruk-ceruk makna yang lebih kompleks.
BACA JUGA:Dorong Birokrasi Berbasis Digital
Kompleksitas makna tentu saja menjadikan makna bersifat nonsingular. Semangat ini salah satunya diusung oleh Jacques Derrida (seorang filsuf kontemporer Prancis) yang getol mengusung tema dekonstruksi di dalam filsafat bahasa dan filsafat pascamodern secara umum.
Esai ini adalah sebuah upaya kecil untuk mengaitkan hasil bacaan terhadap sebuah teks dan beragam konteks yang mengitarinya dengan realitas makna sehari-hari yang telah didekonstruksi.
Sebuah esai berjudul Cintaku Jauh di Nusa Kambangan telah lama menarik perhatian saya. Selain karena reputasi penulisnya, salah satu bagian dari esai tersebut, bagi saya, cukup patut menjadi bahan renungan yang relevan hari ini.
Esai tersebut ada dalam kumpulan esai berjudul Kiai Sudrun Gugat yang diterbitkan oleh Pustaka Utama Grafiti pada tahun 1995. Penulisnya adalah Emha Ainun Nadjib (saya lebih nyaman menyebut beliau dengan Mbah Nun). Bagian esai yang dimaksud adalah sebagai berikut:
BACA JUGA:Masih Fokus Urus Pilbup, Parpol Belum Ajukan Calon Pimpinan DPRD
Ah, aurat! Tidak semua dari ‘tubuh manusia’ boleh dibuka dan dipertontonkan. Juga tubuh negara dan politik. Terutama aurat wanita.
Kalau aurat laki-laki tak terlalu diurus oleh Tuhan, sebab kalau laki-laki buka aurat total, wanita akan lari. Beda dengan kalau aurat wanita dibuka, lelaki akan berkerubung.
Dan politik: pria atau wanitakah ia? Ia wadam. Kalau auratnya dibuka, kekacauan sosial yang terjadi akan dahsyat sekali.
Derrida dan Dekonstruksi ala Emha