Aurat Politik
Ilustrasi berebut kursi di dunia politik.--radar bojonegoro
BACA JUGA:Musim Kemarau, BPBD Siaga Bencana Kebakaran 24 Jam
Kalau laki-laki, auratnya anggota tubuh antara pusar hingga lutut. Menariknya, dalam bahasa Urdu, ‘aurat’ memiliki arti ‘perempuan’. Lalu, politik ini sebetulnya lelaki atau perempuan? Kalau perempuan, seharusnya praktik berpolitik sungguh harus tertutup; ya hanya sedikit-sedikit saja yang ditampilkan, sisanya aurat.
Politik harus ‘merahasiakan’ keburukan dan ‘menampilkan ‘kemaslahatan khalayak’. Kalau laki-laki, seolah tidak ada aurat. Saat melihat laki-laki bertelanjang dada, kita biasa-biasa saja meskipun norma umum menganggap itu tidak patut, bahkan beberapa orang merasa malu.
Apakah praktik berpolitik lebih berorientasi pada aurat laki-laki? Ditampilkan tanpa malu, dan hanya sedikit yang ditutupi; sangat sedikit malah. Itu juga sudah tetap memalukan.
Sebegitu bingung kita menentukan gender politik ternyata. Atau mungkin, benar kata Mbah Nun, politik adalah wadah (hawa dan adam). Politik sudah tidak mau menutupi irasionalitasnya dan inkonsistensinya sehingga hanya menghasilkan kekacauan sosial. Semoga, tidak demikian.
BACA JUGA:Dua Bulan Terakhir BPBD Kirim Air Bersih ke Kawasan Kelurahan Argasunya
Politik; Sein Kiri Belok Kanan?
Selain mengenai gender, keawaman membuat kita kesulitan untuk melihat arah politik. yang sering terdengar dari narasi para politikus adalah “politik itu dinamis”.
Namun, seorang kawan berbisik bahwa “politik itu, sein kiri belok kanan”. Lama saya terdiam. Katanya, yang sering melakukan sein kiri belok kanan itu ibu-ibu. Apakah gender politik kita adalah perempuan?
Di sisi lain, sependek pengetahuan saya, porsi perempuan dalam kancah politik masih minor.
BACA JUGA:Motivasi Mahasiswa Baru, BEM STTC Gelar Donor Darah dan Seminar
Di televisi, kita juga sering melihat dan mendengar kecenderungan elite politik yang seperti mengarah pada sebuah patron tetapi seketika waktu berpindah pada patron lain.
Sungguh, bertambah bingung. Padahal, politik adalah wahana strategis yang mengatur hajat hidup masyarakat. Kalau sudah bingung, apakah ada semacam pesimisme politik yang lahir? tentu saya tidak akan menjawabnya, sebab jawaban saya adalah “aurat’ yang harus saya tutupi. (*)
*Penulis adalah Penelaah Teknis Kebijakan (Klerek) pada Bagian Protokol dan Komunikasi Pimpinan, Sekretariat Daerah Kota Cirebon