PPN 12%: Tarik-ulur Kebijakan dan Panggung Politik

PPN 12 persen hanya untuk barang dan jasa mewah.-istimewa-Istimewa

Oleh: Adi Junadi

PEMERINTAH menetapkan kebijakan kenaikan Pajak Pertambahan Nilai (PPN) menjadi 12%, yang memicu respons beragam dari masyarakat.

Dalam komunikasi politik, isu ini tidak hanya berhubungan dengan persoalan ekonomi. Tapi juga menjadi medan kontestasi wacana yang melibatkan berbagai aktor politik, termasuk partai politik. 

Pemerintah mengandalkan PPN sebagai salah satu sumber utama pendapatan negara. Kenaikan tarif ini seperti tercantum dalam Pasal 7 Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (UU HPP), bertujuan untuk meningkatkan penerimaan negara guna mendukung pemulihan ekonomi pasca-pandemi.

BACA JUGA:Klinik PCM Juara Umum Catur Beregu

Respons terhadap kebijakan ini sering kali terbentuk melalui narasi politik, menjadikan partai politik sebagai aktor penting yang memengaruhi persepsi publik.

Partai politik memainkan peran sebagai penghubung antara masyarakat dan pemerintah. Sebagai organisasi yang mengagregasi kepentingan, partai politik seharusnya menyuarakan aspirasi rakyat terkait kebijakan publik.

Namun, kenyataannya, posisi partai politik terhadap kenaikan PPN tidak selalu sejalan. Beberapa partai mendukung kebijakan ini demi keberlanjutan fiskal, sementara yang lain menentangnya untuk melindungi daya beli masyarakat. 

Penelitian Nugroho et al (2022) menunjukkan bahwa partai oposisi menggunakan isu kenaikan pajak untuk memperkuat basis dukungan dengan mengkritik pemerintah.

BACA JUGA:Kades di Kecamatan Palasah Dilaporkan Warga ke Kejaksaan

Sebaliknya, partai pendukung pemerintah memanfaatkan strategi berbasis data untuk meyakinkan masyarakat tentang pentingnya kebijakan ini bagi stabilitas ekonomi jangka panjang.

Partai politik menggunakan tiga strategi komunikasi utama dalam merespons isu ini. Pertama, narasi ekonomi rasional, yang sering digunakan oleh partai pendukung pemerintah untuk menekankan pentingnya kenaikan PPN dalam menjaga keberlanjutan fiskal dan mengurangi defisit anggaran.

Kedua, retorika populisme, yang diadopsi partai oposisi untuk menyoroti dampak negatif kebijakan terhadap masyarakat kecil, membangun citra sebagai pembela rakyat.

Ketiga, kampanye digital, yang memanfaatkan media sosial untuk menyampaikan pandangan mengenai kenaikan PPN. Studi Dewi dan Andika (2023) menunjukkan bahwa narasi media sosial memiliki pengaruh signifikan dalam membentuk opini publik.

Tag
Share