“Ada dua poin krusial dalam revisi ini yang secara terang-terangan tidak merujuk pada putusan MK,” ujar Rizfan.
Ia menjelaskan, pertama, perubahan syarat ambang batas pencalonan pilkada dari jalur partai hanya berlaku untuk partai yang tidak memiliki kursi di DPRD, padahal putusan MK telah menghapus syarat tersebut.
Kedua, batas usia minimal calon gubernur dan wakil gubernur justru mengacu pada putusan Mahkamah Agung (MA) dan bukan MK, sehingga menimbulkan kebingungan dan ketidakpastian hukum.
Rizfan juga menyoroti proses pembahasan revisi UU Pilkada yang berlangsung sangat cepat, bahkan terkesan dipaksakan.
“Pembahasan hingga pengesahan RUU Pilkada dilakukan dalam waktu kurang dari tujuh jam. Interupsi dari fraksi yang menolak pun tidak dihiraukan oleh Baleg,” ungkapnya.
Mahasiswa Majalengka, bersama dengan ratusan ribu mahasiswa di seluruh Indonesia, menuntut DPR untuk mengakomodasi seluruh putusan MK dan berhenti merusak sistem demokrasi yang telah dibangun dengan susah payah.
Mereka siap melanjutkan aksi hingga tuntutan mereka didengar dan direspons dengan tindakan nyata. (ono/bae)