Balada Konsumerisme Ramadan

Ilustrasi--

Oleh: Fifi Luthfiyyah SKomI 

UMAT Islam kembali menjalankan ibadah puasa selama sebulan penuh. Secara bahasa, puasa berarti menahan diri. Sementara secara istilah, puasa berarti menahan diri dari makan, minum, dan berhubungan suami-istri dalam rentang waktu tertentu sebagai perwujudan dari ketaatan kepada Allah.

Dari definisi ini, secara lahiriah, puasa seharusnya dapat menuntun pelakunya untuk menahan diri dari hasrat dasar atau biologis manusia, yaitu makan, minum dan hubungan suami-istri.

Sementara secara batiniah, puasa diharapkan mampu menjadikan pelakunya dapat menahan diri dari hasrat-hasrat atau keinginan-keinginan buruk demi mengharap keridhaan Allah, yaitu dengan amal-amal ibadah dan kebaikan, baik dalam dimensi individu maupun sosial.

BACA JUGA:Saat Arus Mudik Lebaran, Korlantas Polri Bentuk Tim Urai Kemacetan

Jabir bin ‘Abdillah ra. berkata, “Jika kamu berpuasa maka hendaknya pendengaranmu, penglihatanmu, dan lisanmu turut berpuasa dari dusta dan hal-hal haram serta janganlah kamu menyakiti tetangga.Bersikap tenang dan berwibawalah di hari puasamu. Janganlah kamu jadikan hari puasamu dan hari tidak berpuasamu sama saja.” (Latha’if al-Ma’arif, 1/168).

Karenanya, Ramadan semestinya menjadi bulan di mana kita menahan diri dari berbagai godaan, termasuk godaan untuk menjadi konsumtif.

Akan tetapi, realitas yang ada, godaan diskon, ajakan makan bersama, dan tunjangan hari raya, membuat sebagian kita menjadi buta dan merasa menjadi orang “paling kaya” di dunia di bulan Ramadan.

Budaya konsumerisme merajalela dan menjadi bayang-bayang di balik kesucian Ramadan. Tidak semua orang memang, tetapi kita mesti mengakui, konsumerisme adalah sesuatu yang menggoda bagi banyak orang, khususnya di bulan Ramadan.

BACA JUGA:Ponpes Progresif RPK Ulfiyah Segeran Buka Majelis Taklim

Di berbagai media, sepanjang bulan Ramadan, masyarakat dijejali dengan iklan-iklan produk konsumtif. Secara masif, masyarakat terus-menerus digempur oleh iklan-iklan yang membius sehingga terbuai dan kehilangan kesadaran akan hakikat dari kebutuhan.

Untuk memenuhi kebutuhan-kebutuhan tersebut, masyarakat kemudian mengusahakannya dengan kegiatan konsumsi.

Keberadaan iklan menciptakan kebutuhan-kebutuhan palsu (false needs) yang bertemu dalam suatu cara yang tidak memuaskan secara fundamental. Tingkat konsumtif yang tinggi pun terjadi. Fenomena ini menjadi sebuah paradoks yang ironi. 

Pada satu sisi, melalui puasa, kaum muslimin diimbau untuk “menahan” dan “menekan”. Namun pada sisi lainnya, pada kenyataannya, mal-mal dan pusat-pusat perbelanjaan justru penuh-padat pengunjung, apalagi menjelang sore hari saat akan berbuka puasa.

Tag
Share