Balada Konsumerisme Ramadan

Ilustrasi--

BACA JUGA:Grand Vitara Untuk Ciptakan Momen Libur Lebaran yang Stylish

Sebagian mal atau tempat belanja menyuguhkan hidangan ringan untuk berbuka puasa kepada pengunjung. 

Hal ini semakin meningkatkan gairah masyarakat untuk datang dan memilih berbuka puasa di tempat-tempat itu daripada di tempat-tempat ibadah atau di rumah sendiri bersama keluarga.

Bahkan, saat ini, berbuka puasa di mal-mal atau tempat-tempat belanja menjadi semacam gaya hidup.

Ibarat pepatah “sambil menyelam minum air”, sembari menunggu berbuka puasa, berjalan-jalan sambil melihat-lihat barang, tentu bukan sekadar melihat, melainkan pada akhirnya membeli, mengonsumsi. Tidak salah memang.

BACA JUGA:Institut Padhaku Jalin Kerja Sama dengan NU Tiongkok

Akan tetapi, kita sering kali lebih fokus pada persiapan hidangan yang mewah atau semacamnya daripada esensi spiritual dari puasa itu sendiri.

Bagi sebagian masyarakat perkotaan, terutama kelas menengah ke atas, budaya konsumerisme ini kerap meningkat di awal-awal dan hari-hari terakhir bulan Ramadan.

Padahal puasa mendorong untuk lebih giat beribadah, baik itu ibadah ritual maupun sosial, terutama di hari-hari terakhir bulan Ramadan. 

Puasa mendorong orang untuk berlama-lama di tempat ibadah dan makin intensif melakukan kegiatan-kegiatan sosial, termasuk membantu orang-orang yang kesulitan secara ekonomi.

BACA JUGA:Dua Tahun Lagi, Produk Kaus Kaki dan Pakaian Wajib Bersertifikat Halal

Puasa juga menganjurkan untuk banyak-banyak mendekat dengan orang-orang yang susah agar rasa empati muncul dan tergerak untuk membantu sesama.

Namun, semangat solidaritas dan kepedulian sosial seringkali terabaikan di tengah-tengah hiruk-pikuk belanja dan pesta makan-makan. Konsumerisme yang justru meningkat pesat di bulan Ramadan menggambarkan betapa puasa tampaknya acap kali kehilangan maknanya.

Ramadan telah dikapitalisasi sedemikian rupa untuk menjauhkan-setidaknya melenakan-masyarakat dari pesan-pesan substansial yang diajarkan melalui puasa, yaitu kesederhanaan, empati, kepekaan sosial, kemanusiaan dan spiritualitas.

Masyarakat digiring untuk menjauhi atau -setidaknya-kurang memedulikan itu semua, kemudian tenggelam dalam ingar-bingar suasana Ramadan yang telah dikapitalisasi dan disulap demi menarik budaya konsumerisme.

Tag
Share