Ini Alasan MK Hapus Pasal Pencemaran Nama Baik dan Berita Bohong

Ketua Mahkamah Konstitusi (MK) Suhartoyo (tengah) memimpin jalannya sidang mengenai uji formil batas usia calon presiden dan calon wakil presiden (capres-cawapres) di Gedung MK, Jakarta, Selasa (16/1/2024). -ist-radar cirebon

Mahkamah Konstitusi (MK) mengabulkan sebagian gugatan dari Haris Azhar, Fatia Maulidiyanti, dkk, terkait Pasal 14 dan 15 UU 1 tahun 1946 yang mengatur ancaman pidana bagi penyebar berita  bohong atau hoaks yang menimbulkan keonaran.

Permohonan yang diajukan oleh Haris Azhar dan Fatiah mengenai larangan menyiarkan berita atau pemberitahuan bohong sehingga menimbulkan keonaran, berdasarkan Putusan Nomor 78/PUU-XXI/2023.

Ketua MK Suhartoyo dalam keterangan resminya mengatakan, Pasal 14 dan Pasal 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab UU Hukum Pidana bertentangan dengan UUD Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

"Dalam provisi, menolak permohonan provisi para pemohon untuk seluruhnya. Dalam pokok permohonan, mengabulkan permohonan para Pemohon untuk sebagian," kaya Suhartoyo, yang dilansir dari situs resmi MK.

BACA JUGA:Tantangan Penyelesaian Masalah Honorer PPPK 2024: Usulan dari Pemda Minim

"Menyatakan Pasal 14 dan Pasal 15 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 tentang Kitab-Kitab Undang-Undang Hukum Pidana bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat,” lanjutnya.

Dalam salah satu pertimbangannya, MK menyebut pasal 14 dan 15 UU Nomor 1 Tahun 1946 tersebut menjadi 'pasal karet' lantaran tidak ada kejelasan terkait ukuran atau parameter.

Hakim Konstitusi Enny Nurbaningsih menilai, unsur onar atau keonaran yang termuat dalam Pasal 14 KUHP juga sudah tidak relevan lagi dengan perkembangan zaman dan teknologi informasi saat ini.

Sebab, masyarakat sudah memiliki akses yang luas dan mudah terhadap informasi melalui berbagai media, khususnya media sosial.

BACA JUGA:Panglima TNI Lakukan Mutasi 52 Perwira Tinggi

“Dengan kata lain, jika ada seseorang yang menyiarkan berita atau pemberitahuan kepada masyarakat melalui media apapun meskipun berita atau pemberitahuan tersebut masih diragukan kebenarannya," jelas Enny Nurbaningsih dikutip dari situs resmi MK.

"Kemudian berita atau pemberitahuan tersebut menimbulkan diskursus di ruang publik, maka seharusnya diskusi tersebut tidaklah serta merta merupakan bentuk keonaran di masyarakat yang langsung dapat diancam dengan hukuman pidana,” lanjutnya.

Hal senada juga diungkapkan Hakim Konstitusi Arsul Sani, MK berpendapat tidak ada kejelasan terkait ukuran atau parameter yang menjadi batas bahaya. Artinya, apakah keonaran tersebut juga dapat diartikan sebagai kerusuhan yang membahayakan negara.

“Dengan demikian, terciptanya ruang ketidakpastian karena multitafsir tersebut akan berdampak pada tidak jelasnya unsur-unsur yang menjadi parameter atau ukuran dapat atau tidaknya pelaku dijerat dengan tindak pidana,” tambah Arsul. (jpnn)

Tag
Share