Selektif Bersikap

Ilustrasi--

Dengan begitu, penilaian kita tentang suatu hal itu benar menurut kita, bukan lantas hal tersebut kebenaran. Demikian halnya salah, kita tidak perlu bersikeras, ”Hal ini salah, maka jangan begini.”

BACA JUGA: Di Kelurahan Kesambi, Penyebaran HIV Lewat Hubungan Seks

Ketika mindset ini tertanam, maka tidak akan mudah menyalahkan seseorang karena berbeda prinsip dan sudut pandang. Boleh saja kita istilahkan ”sikap toleran”.

Sebuah berita, misalnya, yang tersebar di media sosial menyebut seorang ibu membuang bayi sebab hamil di luar nikah. Secara otomatis muncul penilaian salah di mata pembaca dan muncullah komentar-komentar miring.

Padahal yang menurut mereka salah, ternyata bisa jadi benar versi si ibu itu. Perlakuan si ibu boleh saja salah, akan tetapi komentar mereka belum tentu ”kebenaran” sekalipun memang ”benar”.

Karena kebenaran itu mutlak milik Tuhan, sedangkan kita hanya bisa berspekulasi berlandas pedoman yang sudah ada dalam arti ”kebenaran itu abstrak di sisi manusia”.

BACA JUGA:Akibat Kekurangan Guru ASN, Tahun ini 64 SDN di-Merger

Lalu, bagaimana sikap bijak jika benar itu relatif sedangkan kebenaran itu abstrak? Dalam filsafat, ada tiga mazhab yaitu korespondensi, deduksi, dan efektivitas. Penganut korespondensi berlandasan faktual untuk mencari kebenaran.

Kaum deduksi berlandasan akal untuk mencari kebenaran. Pengikut efektivitas memandang segi keefektifan suatu konsep agar dapat dikatakan kebenaran.

Filsafat modern memadukan tiga kebenaran ini untuk mencapai kebijaksanaan. Dalam contoh si ibu tadi, secara korespondensi kita analisis fakta dulu benar-tidaknya berita tersebut. Dengan deduksi, kita nilai ternyata itu salah sesuai penilaian akal.

Terakhir, kita pikirkan sikap atau tanggapan apa yang mungkin efektif untuk tidak terjadi pengulangan kesalahan yang sama.

BACA JUGA:Lengkap, KPUD Majalengka Simpan 19.727 Kotak Suara

Akhirnya seseorang akan mencari sikap yang bermanfaat untuk suatu isu-berita di era mudahnya menanggapi suatu hal dengan mindset kebijaksanaan filsuf. Tidak hanya berkomentar yang malah menambah ribut karena persepsi benar sepihak.

Lebih dari itu, menanggapi suatu hal dengan ikut “mencarikan” solusi jika dirasa salah tanpa menimbulkan keributan karena komentar miring. Falyataammal. (*)

Penulis adalah Governance Analyst di Pratama Institute

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan