“Skena” Komunikasi Politik Indonesia
Ilustrasi--
(Ilustrasi 2)= Teman saya itu kemudian berhenti di traffic light dan dihampiri oleh seorang pengamen yang bernyayi tidak jelas sambil menepuk-nepuk tangan.
BACA JUGA:AKMI Suaka Bahari Cirebon Cetak Pelaut Profesional dan Siap Kerja
Awalnya, teman saya melambaikan tangan sebagai tanda enggan memberi. Lalu, pengamen itu kemudian menggulung lengan bajunya dan memperlihatkan tato yang memenuhi lengannya. Seketika, teman saya memberikan beberapa uang recehan kepada pengamen itu. “Takutnya malah body mobil saya digores nanti sama dia,” ucap teman saya itu kepada saya.
(Ilustrasi 3)= Tidak jauh dari traffic light, teman saya kemudian berhenti di sebuah minimarket. Saya tidak turun sebab dari kejauhan saya melihat si pengamen yang tadi berjalan menepi ke trotoar. Dari jarak itu, saya bisa melihat ada seorang pengemis yang hanya memiliki satu kaki duduk menengadahkan mangkuk kecil kepada siapun yang lewat.
Saya lihat si pengamen bertato itu memasukkan beberapa uang receh pada mangkuk yang dipegang si pengemis. Apakah si pengamen bertato merasa hidupnya lebih baik sehingga masih berupaya memberi kepada orang yang nasibnya dianggap lebih sulit?
Dari tiga ilustrasi tersebut, kita dapat melihat bahwa kekuasaan simbolik dalam politik dapat dikonstruksi dengan cara yang sangat variatif. Pada ilustrasi pertama, kekuasaaan ditampilkan melalui simbol kekuasaan formal, yaitu lambang kepangkatan. Simbol kekuasaan ini biasanya berlaku umum dan mutlak karena telah diketahui oleh publik secara luas.
BACA JUGA:Bawaslu Kuningan Tertibkan APK Langgar Zonasi Pemilu
Pada ilustrasi kedua, kekuasaan dapat ditampilkan melalui simbol yang interpretatif dan tidak mutlak. Sebab, simbol nonformal (seperti tato) dapat diterjemahkan sesuai kapasitas dan pengalaman intelektual setiap individu.
Dalam pemahaman tertentu, tato adalah lambang premanisme dan kriminalitas. Padahal, bagi kelompok tertentu, tato justru dianggap sebagai ekspresi artistik, bahkan tato juga dipandang sebagai lambang spiritualisme (sebagaimana pada suku Dayak).
Lalu, kekuasaan simbolik faktanya tidak selalu digunakan untuk menaklukkan fisik dan pikiran tetapi juga menaklukkan perasaan.
Dengan menampilkan kekurangan fisik, pakaian yang kusut, dan wajah memelas, pada konteks itu, pengemis sedang memainkan kekuasannya untuk meraih simpati dan keuntungan ekonomi. Pendermaan uang dari si pengamen kepada si pengemis merupakan bukti penaklukkan perasaan hingga pihak lain berkehendak melakukan apa yang diharapkan.
BACA JUGA:Pemkot Cirebon Kirim Makanan Buat Korban Gempa Bumi di Sumedang
Dalam ragam bentuk kekuasaan simbolik itulah skena komunikasi politik berkelindan. Pun, dalam perspektif yang lebih ekstrem, skena komunikasi politik cenderung menciptakan polarisasi yang semakin tajam, yaitu apapun produk komunikasi politik tidak pernah berpengaruh di hadapan orang yang “beriman”.
Sebab, seburuk apapun praktik komunikasi politik dari pihak yang didukungnya akan selalu tidak dianggap sebagai kelemahan. Sebaik apapun praktik komunikasi politik tentu saja akan mempertebal keimanannya. Kedigdayaan selalu berusaha dibangun bahkan melalui cara berkomunikasi.
Begitulah skena komunikasi politik Indonesia. Analisis ini mungkin keliru tetapi untuk membantahnya pun tampaknya cukup sulit. (*)