Dramaturgi dan Pencitraan Politisi di Panggung Politik Pilwalkot Cirebon
Paslon Pilkada Kota Cirebon.-istimewa-
BACA JUGA:Paslon Ridho-Kamdan Dapat Dukungan dari Buruh Bangunan
Misalnya para calon Wali Kota tersebut langsung bergerak cepat untuk “menggoda” publik dengan memasang baligo yang diharapkan menjadi identitas diri, karakter ataupun ciri khas masing-masing calon.
Seperti Eti Herawati secara “konsisten” menggunakan batik cirebonan dengan motif mega mendung yang identik dan bahkan menjadi ikon batik daerah Cirebon.
Sedangkan Efendi Edo “menampilkan” baju warna putih dan biasanya menjadi simbol untuk bersikap bersih dan berbuat lebih baik untuk publik serta menggunakan peci “khas” pejabat Indonesia.
Penampilan tersebut pada akhirnya dipilih setelah beberapa minggu setelah ditetapkan oleh KPU. Sebelumnya Effendi Edo menampilkan “busana” yang lebih santai dibeberapa baligonya, dengan menggunakan jaket kulit.
BACA JUGA:Layani Pengobatan dan Pemeriksaan Kesehatan, NU Luncurkan Klinik Umah Sehat
Sedangkan Dani Mardani tampil lebih “modis” dengan menggunakan jaket jeans khas anak muda dipadukan dengan peci hitam dan mulai konsisten digunakan pada baligo “formal” tim pemenangan dan menjadi identitas ketika saat melakukan kampanye dan turun mengunjungi masyarakat.
Pakaian yang digunakan oleh pemakainya adalah dalam usaha mengendalikan pesan kepada orang yang melihatnya diharapkan akan menimbulkan kesan (impression) pada pihak yang melihatnya. Kajian ini memperjelas bagaimana metaphor teater dalam kehidupan sosial.
Berdasarkan pendapat tersebut, menjelaskan bahwa cara para calon Wali Kota Cirebon berperilaku dan bertutur kata dalam interaksinya sebagai unit dasar, menggunakan atribut dan tim untuk mendukung panggungnya, dengan ekspresif dan membentuk kharisma sementara agar situasi sosial menjadi contaminated olehnya. Seakan-akan kesan sebenarnya yang menjadi asli dari individu itu ditanggalkan demi mempengaruhi lingkungan sekitar dengan stigma yang diciptakan.
Saya berpendapat bahwa politisi sebagai aktor dituntut untuk selalu profesional di depan khalayak. Bahkan hampir semua politisi mencoba membuat tembok tinggi dengan masyarakat, tembok (batasan yang menjadi pemisah antara panggung depan dan panggung belakang, di mana politisi tidak berkenan memperlihatkan keseharian atau karakter yang sesungguhnya.
BACA JUGA:Optimis Satu Juta Kunjungan Wisatawan Tercapai, Bulan November Baru 51 Persen
Politikus pandai menyimpan isi pikirannya dan membungkusnya dengan ungkapan yang jauh berbeda, bahkan bertolak belakang dengan isi pikirannya. Kondisi tersebut dilakukan untuk membentuk citra positif di masyarakat.
Dengan demikian, impression management dan politik pencitraan yang dilakukan oleh para calon Wali Kota Cirebon tidak hanya merupakan upaya strategis untuk memenangkan suara, tetapi juga untuk membangun hubungan emosional dengan masyarakat.
Komunikasi politik yang digunakan oleh para calon Kepala Daerah, memainkan peran penting dalam menciptakan citra positif di mata masyarakat.
Meskipun pada sisi yang lain menurut Nimmo (1989) menyatakan bahwa: "Kebanyakan politisi mendapat kesulitan besar untuk bisa dikenal bahkan untuk mempunyai citra."