Moralitas Sepak Bola

Senin 04 Dec 2023 - 19:22 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Bambang

Sepak bola bukan sekadar urusan teknik menyepak bola di atas lapangan. Bagi sebagian orang, bola telah menjadi bagian dari kehidupan itu sendiri, Bintang Brazil, Ronaldinho pernah berujar, "I learned all about life with a ball at my feet. "Demikian juga menurut Cristiano Ronaldo,

"Tanpa sepak bola, hidup saya tidak berarti apa-apa." Seperti halnya Maradona yang terlahir sebagai anak miskin di perkampungan kumuh, Bill Shankly beruntung karena menemukan sepak bola sebagai jalan yang mengubah hidupnya.

Legenda Liverpool ini memaknai sepak bola jauh lebih besar dari persoalan hidup dan mati, "Some people think football is a matter of life and death. I assure you, it's much more serious than that."

BACA JUGA:Polres Majalengka Mutasi Dua Kapolsek

Sepak bola juga terkait dengan kehidupan bersama. Menurut Abby Wambach, "Saya tidak pernah mencetak gol dalam hidup saya tanpa mendapat umpan dari orang lain."

Sepak bola adalah tentang mengalahkan egoisme. Aturan emas sepak bola, ujar Bob Burns," berikan kepada orang lain seperti kamu ingin mereka memberikannya kepadamu." Sepak bola dan semua cabang olahraga, tidak sekadar untuk mendapat piala, meraih kemenangan dengan menghalalkan segala cara, atau mengejar kepuasan semu untuk membesarkan ego diri yang tidak ingin disaingi.

Olahraga semestinya menjadi ajang mengalahkan syahwat negatif di dalam diri. Sabda Nabi, "Orang yang kuat bukanlah yang menang bergulat, namun orang yang kuat adalah yang manusia mampu menguasai dirinya ketika marah."

Pada mulanya, olahraga mempraktikkan moralitas tertinggi sebagai manusia. Hal tersebut antara lain tersirat dalam puisi-puisi karya pujangga Yunani: Homer dan Virgil.

BACA JUGA:UMK Cuma Naik Rp70 Ribu, Pj Gubernur Minta Terima Keputusan, Bupati Ngotot Perjuangkan

Pada abad ke-8 Sebelum Masehi, Homer menggambarkan suatu masyarakat yang disemangati oleh idealisme kepahlawanan dan semangat persaingan yang kemudian dialihkan menjadi prestasi dalam olahraga.

Festival-festival Yunani pada mulanya berupa ritual untuk menghormati dewa-dewi dalam pemakaman tokoh pahlawan mereka. Dalam upacara pemakaman Patroklus, seperti digambarkan Homer dalam Iliad (salah satu karya kesusasteraan Yunani tertua yang masih ada), para pejuang yang dihormati, termasuk rekan-rekan Akhiles, meletakkan senjatanya.

Mereka lalu berlomba dengan sportif untuk membuktikan kegagahan dalam wujud pertandingan tinju, gulat, lempar lembing, hingga balap kereta. Festival serupa dirayakan di seluruh Yunani guna memberi kesempatan bagi orang-orang untuk mengesampingkan pertikaian dan kekerasan yang tiada akhirnya.

Dengan begitu, mereka berhasil mengalihkan semangat persaingan atau pertikaian mereka yang telah turun-temurun, menjadi prestasi yang damai dan tulus, melalui pertandingan olahraga. Sekali lagi, olahraga pada mulanya adalah wahana positif untuk mengalihkan energi kekerasan dan peperangan.

BACA JUGA:Terkendala Adminduk saat di Rumah Sakit, Puluhan ODGJ di Cirebon Ikuti Perekaman E-KTP

Di abad ke-21, sejarah mencatat cabang olahraga yang paling digemari, sepak bola, pernah menjadi tragedi paling memilukan di dunia. Kanjuruhan menjadi nama yang akan diingat oleh miliaran orang dengan memori yang buruk.

Tanggal 1 Oktober 2022 sebagai hari paling kelam dalam sejarah sepak bola, terjadi di Stadion Kanjuruhan, Malang, setelah pertandingan Arema FC vs Persebaya Surabaya dalam lanjutan Liga 1. Yang tercatat, 135 nyawa melayang.

Kategori :