Dalam puisi "Ke mana Anak-anak Itu" yang dimusik-puisikan oleh Kiai Kanjeng di album Kado Muhammad, terdapat petikan puisi: "Kematian bukanlah tragedi, kecuali jika kita curi dari Tuhan hak untuk menentukannya." Kalimat itu cukup bisa mewakili penggambaran kecerobohan manusia yang telah mengambil alih hak Tuhan untuk menentukan kematian. Hingga saat ini, belum ada upaya serius menyelesaikan kasus tersebut dengan sepenuh keadilan.
Kasus Kanjuruhan menambah daftar panjang masalah sepak bola Indonesia. Di belakangnya, ada sederet kasus kekerasan antarpemain, bentrokan supporter, fanatisme ekstrem, politisasi sepak bola di kalangan elite, manajemen yang tidak profesional, suap-menyuap permainan wasit, hingga mafia bola.
BACA JUGA:Harbak PU ke-78, Pemkab Cirebon Beri Hadiah DPUTR Tiga Unit Alat Berat Seharga Rp8,9 Miliar
Meskipun diterpa berbagai kasus memilukan, sepak bola tidak pernah kehilangan pamornya, tidak lapuk dalam hujan karakter dan panas.
Dalam segala kondisi, ia terus digemari. Ada banyak sisi yang perlu dibenahi. Di dalam lapangan, tentu saja tentang nilai-nilai luhur permainan. Di luar lapangan, tentang supporter, supaya mendukung tim kesayangannya dengan sepenuh jiwa ksatria dan kedewasaan.
Menang dan kalah dalam sepak bola adalah niscaya. Kemenangan dan kekalahan harus diterima sebagai konsekuensi permainan. Naik dan turun merupakan bagian dari perjalanan tim sepakbola. Fanatisme berlebihan yang berujung permusuhan, tidak sejalan dengan spririt sepak bola. (*)
Penulis adalah Dosen Program Pascasarjana Universitas Islam Bunga Bangsa Cirebon, tinggal di Indramayu