BACA JUGA:Persib Rombak Pemain, Ada Kekhawatiran dari Legenda
Tulisan ini akan sedikit memaparkan salah satu argumentasi mereka, yang menurut persepsi penulis sangat paradoks –untuk tidak mengatakannya absurd.
Setidaknya, untuk menjustifikasi tindakan atau pemikirannya. Salah satu akademisi feminis membagi dua penyebab seorang menjadi lesbi, gay, dan sejenisnya.
Pertama, faktor eksternal yaitu kelainan seks yang diakibatkan lingkungan sekitar, bukan memang berasal dari kelainan hormon seorang individu. Hal ini bisa disebakan ia berada di lingkungan yang rata-rata sekelilingnya memiliki kecenderungan terhadap sesama jenis.
Atau bisa juga karena pengalaman traumatis pribadi yang selalu mendapatkan kekerasan seksual. Selain itu, seorang broken home yang selalu mendapati kericuhan orang tuanya, juga berpotensi menjadi penyebab kelainan seksual.
BACA JUGA:Priatmo Adji: Alun-alun Kejaksan Terlihat Kumuh, Lampu Hias Minim Sehingga Terkesan Mesum
Karena ia trauma menjalani hubungan dengan lawan jenis. Demikian kita dipersilakan campur tangan untuk membantu mereka yang sedang terjangkit hal tersebut. Baik melalui rehabilitasi, terapi psikologis atau semacamnya.
Kedua, faktor internal yaitu disebabkan kelainan genetik yang terjadi sejak lahir. Sehingga secara kodrati, yang bersangkutan memang seperti itu sebagaimana adanya (menyukai sesama jenis). Dalam hal ini. campur tangan kita akan tetap sia-sia. Bahkan dengan intervensi dianggap sebagai sesuatu yang melanggar hak asasi manusia.
Argumen tersebut –sebagaimana penulis sebutkan– sangatlah paradoks. Bahwa antara salah satu dari dua pembagian tersebut dapat saling berbenturan. Alih-alih bisa mendukung satu sama lain. Alhasil menimbulkan berbagai pertanyaan yang mengingkari konsepsi tersebut.
Berbagai pertanyaan mendasar yang timbul dari konsepsi pertama adalah; Bagaimana mungkin seseorang dapat berubah kecenderungan seksualnya, hanya dengan faktor lingkungan sebagaimana kasus pertama?
BACA JUGA:Puting Beliung Hantam Perumahan Taman Suci, 32 Rumah Rusak
Bukankah secara kodrati ia terlahir sebagai seseorang yang tak menyukai sesama jenis? Bukankah seseorang yang secara kodrati dilahirkan sebagaimana adanya, tak dapat diubah dengan faktor apa pun sebagaimana kasus kedua?
Sedang berbagai pertanyaan yang juga timbul dari konsepsi kedua adalah sebagai berikut. Bagaimana bisa seseorang yang secara kodrati dilahirkan untuk menyukai sesama jenis tak dapat berubah dengan faktor lingkungan sebagaimana kasus yang pertama?
Bukankah faktor lingkungan juga dapat mempengaruhi kecenderungan seksual seseorang, sebagaimana juga terdapat pada kasus pertama?
Nah, Setidaknya berbagai pertanyaan tersebut dapat menjadi bukti bahwa argumentasi mereka sangatlah paradoks, sebagaimana yang penulis anggap. Wallahu a’lam. (*)