Jadi pemilu itu harus diarahkan untuk memilih pemimpin nasional yang sungguh-sungguh dan mampu membangun negara-bangsa yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Sejahtera negara dan bangsanya, berarti sejahtera umat Islamnya juga.
Tanya:
Nah kalau dilihat secara kepartaian, kan saat ini banyak partai politik. Bahkan banyak juga muncul kekuatan politik non-partai, semisal relawan. Lalu bagaimana kita mengkaitkannya dengan perjuangan politik keumatan?
Jawab:
Pemilu itu kan pemenangnya ditentukan oleh suara terbanyak. Maka calon pemimpin yang mampu mendapat dukungan dari lebih banyak kekuatan politik (parpol maupun non-parpol), itulah yang berpeluang besar menang.
Ketika calon pemimpin tersebut memiliki visi-misi kebangsaan dan sekaligus keumatan, maka peluang menangnya akan semakin besar.
Kalau meneropong sejarah hasil pemilu, ada tiga kekuatan kantong suara di Indonesia. Kantong kiri besarannya sekitar 20%, kantong tengah sekitar 50% dan kantong kanan sekitar 30%.
Kantong tengah ini adalah gabungan dari semua parpol berasas Islam dan atau berbasis massa muslim. Jika aspirasi politik keumatan ini ingin memenangkan kontestasi pemilu, maka suara politiknya harus digabungkan minimal antara kantong kanan dan kantong tengah. Lebih bagus lagi jika ada bagian dari kantong kiri yang bergabung.
Tanya:
Apakah perpaduan antar kantong suara itu terjadi di Pemilu 2024?
Jawab:
Jika melihat formasi koalisi parpol, nampaknya masing-masing koalisi berupaya menggabungkan kantong kanan, tengah dan kiri. Tetapi perlu kita cek kemana kekuatan non-parpol itu bergabung. Kalau kita misalnya menganggap figur Pak Jokowi sebagai kekuatan non-parpol, maka kemana arah dukungan beliau akan sangat menentukan peluang kemenangan koalisi dan paslonnya.
BACA JUGA:Wawancara dengan Mahfuz Sidik: Mampukah Indonesia Menjadi Superpower Baru?
Tanya:
Menarik juga ya. Apakah itu artinya tidak akan terulang lagi politik pembelahan antara umat dan non-umat?
Jawab: