Polemik Kosmetik Bahan Merkuri

Oleh: Fifi Luthfiyah*

INDONESIA telah menjadi pasar besar bagi industri kosmetik, dari produk lokal hingga global sebab Indonesia adalah negara dengan populasi perempuan lebih dari 150 juta jiwa.

Bahkan Kemenperin telah menjadikan industri kosmetik buatan lokal menjadi sektor yang diperhitungkan dalam Rencana Induk Pembangunan Industri Nasional (RIPIN) tahun 2015-2035.

Melihat nilai ekonomi dari produk kosmetik ini, tak sedikit yang memproduksi kosmetik ilegal dan/atau mengandung bahan dilarang/berbahaya.

BACA JUGA:Jembatan Hati

Pada tahun 2021, BPOM menemukan 43.013 peredaran kosmetik ilegal di e-commerce, sedangkan pada tahun 2024, selama periode Juni hingga September, menurut data BPOM, temuan kosmetik ilegal senilai 11,4 miliar Rupiah meliputi 415.035 pieces atau 979 item.

Kosmetik tersebut merupakan produk tanpa izin edar (ilegal) dan mengandung bahan yang dilarang.

Demikian pula produk kosmetik impor yang membanjiri pasar Indonesia, bersaing dengan produk lokal.

Nilai impor produk kosmetik di Indonesia menurut BPS pada tahun 2021 adalah 630 juta dolar AS atau sekitar 9,8 triliun Rupiah sementara ekspornya hanya 425 juta dollar AS atau setara 6,6 triliun Rupiah.

BACA JUGA:Optimistis Wujudkan Target Zero Kemiskinan Ekstrem

Brand lokal pun berkompetisi menghasilkan berbagai macam produk baru dalam waktu yang singkat dengan harga yang terjangkau.

Produk dirancang mengikuti tren kecantikan dan dikemas untuk cepat habis, sehingga konsumen diharapkan membeli lagi, lagi dan lagi.

Kontras dengan industri kecantikan dekade lalu dimana dibutuhkan waktu yang lama untuk menghasilkan produk kosmetik untuk memformulasikan produk sebelum merilisnya ke pasar, salah satu hal yang menyebabkan harga produk yang relatif lebih mahal.

Kemudahan akses informasi digital di era saat ini menyebabkan pesatnya penggunaan produk kosmetik.

Tag
Share