BACA JUGA:Kekuatan Baru
Kekuasaan memiliki sejarah yang sama tuanya dengan sejarah manusia. Sedari dulu, manusia satu dengan manusia lain dihubungkan oleh kekuasaan; menguasai, dikuasai, atau kedua-duanya. Ambisi berkuasa melekat pada tiap manusia; menjadi penanda naluriah/insaniah yang tampaknya akan abadi.
Oleh sebab itu, dalam berbagai jenis strategi komunikasi politik, tak perlu ada kerumitan yang terlalu untuk melakukan analisis karena ujung dari segalanya tentu saja adalah menarik suara elektoral sebagai bekal menuju kekuasaan.
Pada awalnya, relasi kuasa terjadi secara sangat alamiah. Seseorang dengan kualitas unggul otomatis akan memerankan peran lebih banyak dibandingkan orang lain. Bakatnya membuat dia dapat menanggung tanggung jawab yang lebih besar. Sebab, pemilik kualitas tinggi ini akan bertindak lebih cepat dan tepat ketika kelompoknya membutuhkan sesuatu. Oleh sebab itu, ia menerima hak-hak khusus untuk mengarahkan dan memutuskan hal-hal yang berkaitan dengan kepentingan politik.
Namun, sifat alamiah tersebut berangsur bergeser menjadi sesuatu yang sifatnya ‘dibentuk’ bahkan artifisial. Ada nasihat Machiavelli dalam The Prince yang tampaknya merepresentasikan hal ini. “Penguasa tidak perlu memiliki semua kualitas yang bagus, tetapi perlu untuk dianggap berkualitas,” begitu katanya.
BACA JUGA:Puluhan Rumah di Juntinyuat Rusak Berat Diterjang Puting Beliung
Pertarungan politik tidak melulu tentang pertarungan kualitas, tetapi juga tentang pertarungan untuk mengesankan seseorang memiliki kualitas. Salah satu metode pertarungan tersebut adalah melalui praktik komunikasi politik.
Apabila kita berkenan sejenak saja mengamati praktik komunikasi politik yang ditampilkan di berbagai media, kita dapat melihat bahwa orientasi komunikasi memang semata menunjukkan bahwa dirinya, partainya, tokoh yang diusungnya, dan semua hal tentang komunitasnya adalah yang terbaik.
Aktivitas komunikasi tentu saja memiliki bagian yang tidak terpisahkan, yaitu aktivitas berbahasa. Perlu diketahui bahwa, dibandingkan dengan ragam bahasa lain, bahasa politik memiliki fitur-fitur yang distingtif.
Tidak berlebihan untuk mendefinisikan bahasa politik sebagai gabungan antara luapan semangat yang nyaring berbunyi dan kekhawatiran yang sunyi tersembunyi; gabungan antara ketulusan mengabdi dengan manipulasi yang abadi.
BACA JUGA:Kuwu Baru Jangan Asal Pecat Perangkat Desa
Secara lebih ekstrem, George Orwell, jurnalis-cum-esais asal Inggris, pernah berujar “political language is designed to make lies sound truthful and murder respectable” (bahasa politik dirancang untuk membuat kebohongan terdengar jujur dan pembunuhan dianggap terhormat).
Karenanya, wujud paling kentara dari skena komunikasi politik adalah hegemoni “kepentingan publik” yang diucapkan oleh politikus.
Hal ini menjadi kekhasan dalam bahasa politik. Bahasa politik dilahirkan dari komunitas yang senantiasa berupaya meraih kekuasaan, karenanya praktik berbahasa semata-mata diupayakan untuk menarik kesediaan konstituen dalam memilih dan berimajinasi bahwa “kepentingan” publik itu akan diperjuangkan.
Padahal, dalam analisis komunikasi, keberhasilan bahasa politik tidak dapat diukur semata-mata setelah sebuah narasi dituturkan.
BACA JUGA:Bupati Imron : Ini Kacau, Saya Minta Dibongkar Total