Dalam Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 terdapat penambahan dua subjek hukum baru, yakni “pejabat daerah” dan “anggota TNI/Polri". Meskipun Pasal 71 ayat (1) UU 1/2015 yang merupakan norma primer telah mengalami perubahan, faktanya perubahan itu tidak dimasukkan ke dalam norma Pasal 188 UU 1/2015 yang merupakan norma sekunder.
Terlebih UU 10/2016 tidak mengubah norma Pasal 188 sehingga untuk norma sekunder yang mengatur pemidanaan tetap berlaku dan mengacu pada Pasal 188 UU 1/2015. Hal ini, menurut MK, menjadikan tidak adanya kepastian dan kesesuaian hukum terkait dengan norma pemidanaan terhadap dua subjek hukum baru yang ditambahkan, yakni pejabat daerah dan anggota TNI/Polri.
Sebagai norma sekunder, Pasal 188 UU 1/2015 memberikan pedoman bagi para penegak hukum untuk bertindak apabila norma primernya, yakni Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016, tidak dipatuhi atau dilanggar. Karena norma pada kedua pasal tersebut merupakan norma hukum yang berpasangan, norma Pasal 188 UU 1/2015 harus dirumuskan dengan jelas, cermat, dan perinci agar tidak menimbulkan masalah untuk keperluan penegakan hukumnya.
“Dalam hal ini, Mahkamah mencermati Pasal 188 UU 1/2015 dihubungkan dengan Pasal 71 ayat (1) UU 10/2016 ternyata memang terdapat perbedaan cakupan subjek hukum dalam kedua norma yang saling berpasangan tersebut setelah perubahan UU 1/2015," kata Hakim Konstitusi Arief Hidayat membacakan pertimbangan MK.
BACA JUGA:Pemkab Cirebon-BPK Kolaborasi Tingkatkan Pelayanan JKN
MK menyatakan bahwa ketidaksesuaian rumusan norma primer dan sekunder di antara kedua pasal tersebut dapat menimbulkan ketidakpastian hukum yang bertentangan dengan konstitusi. Atas dasar itu, MK menyimpulkan dalil permohonan uji materi yang diajukan oleh Syukur Destieli Gulo ini beralasan menurut hukum untuk seluruhnya.
Dengan demikian, Pasal 188 UU 1/2015 kini selengkapnya menjadi berbunyi: “Setiap pejabat negara, pejabat daerah, pejabat aparatur sipil negara, anggota TNI/Polri, dan kepala desa atau sebutan lain/lurah yang dengan sengaja melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 71, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) bulan atau paling lama 6 (enam) bulan dan/atau denda paling sedikit Rp600.000,00 atau paling banyak Rp6.000.000,00."
Sementara itu, Komisioner Bawaslu Kota Cirebon Mohamad Joharudin MPd mengatakan putusan MK menjadi warning bagi pejabat daerah serta TNI/Polri di Pilkada 2024. “Harus netral dan tidak boleh terlibat mendukung salah satu paslon. Karena berdasarkan putusan MK, apabila mendukung salah satu paslon maka bisa dipidana,” tegasnya.
Menurutnya, pejabat daerah dan anggota TNI/Polri yang tidak netral yakni membuat keputusan maupun tindakan yang menguntungkan atau merugikan salah satu pasangan calon pilkada. Pihaknya mengingatkan para pejabat daerah serta TNI/Polri terkait putusan MK tersebut. Karena sekarang tak hanya sanksi administrasi, tapi juga pidana. (ast/jpnn/rm/abd)