Pada panggung depan politisi menyampaikan pesan-pesan politiknya, melalui rapat formal, paripurna, ajang kampanye politik ataupun arena terbuka lainnya.
BACA JUGA:KPPS Berhalangan Bakal Dilantik Susulan PadaTanggal 10 November
Pada panggung depan tersebut pula politisi membangun citra diri. Fenomena pencitraan politik ini menegaskan pentingnya impression management dalam kampanye politik.
Calon Wali Kota harus mampu mengelola kesan mereka dengan hati-hati agar dapat memenangkan kepercayaan publik.
Tetapi perlu diingat, bahwa setiap orang memang mengenakan sebuah “topeng” tertentu begitu ia keluar dari rumahnya.
Ini bukan salah, dan memang sangat normal dan dilakukan oleh setiap orang. Kita perlu menjaga “topeng” yang kita tampilkan ini, sehingga nama baik dan reputasi kita dikenal baik lewat sebuah upaya citra diri yang baik pula.
BACA JUGA:Prioritaskan Program Penghapusan HutangUntuk Nelayan Kecil
Seorang calon yang ingin maju dalam Pilkada sebaiknya memiliki visi, misi, dan program yang jelas dan dapat menguntungkan masyarakat.
Pencitraan yang baik seharusnya didasarkan pada kesungguhan dan integritas dalam menjalankan tugas dan amanah sebagai calon pemimpin.
Bukan hanya sekadar penampilan atau kebohongan yang dibuat-buat untuk menarik perhatian publik. Calon kepala daerah harus mampu mensinergikan semua kemampuan yang ada untuk memenangkan pemilihan.
Kepintaran dalam berkomunikasi merupakan tuntutan bagi kepala daerah untuk dapat memberikan informasi tentang arah kepeminpinannya mendatang, serta mampu membujuk dan meyakinkan pemilih.
BACA JUGA:Bantuan Rutilahu Kembali Dikucurkan oleh Baznas
Calon kepala daerah dituntut mampu merumuskan visi, misi, isu, dan program, sesuai dengan yang diinginkan oleh masyarakat.
Calon kepala daerah tidak bisa merumuskan program hanya berdasarkan harapan, imajinasi obsesi atas diri dari belakang meja, tetapi harus didasakan pada keinginan pemilih. Setiap kandidat kepala daerah harus mampu mempromosikan diri kepada pemilih sebagai pemilik suara.
Arrianie (2021) menjelaskan bahwa, membahas pengembalian citra politisi ideal yang menampilkan perilaku ideal pula, baik di wilayah depan maupun wilayah belakang panggung politik, sehingga masyarakat tidak dihinggapi sikap permisif dan membiarkan sesuatu terjadi terus-menerus.
Lama-kelamaan sesuatu itu menjadi terbiasa, akhirnya hak rakyat atau konstutuen yang memberikan hak perwakilan kepada mereka juga terabaikan.