“Manusia secara sadar membangun dan menyajikan ‘diri’ di hadapan publik untuk mempengaruhi bagaimana mereka dipersepsikan” (Goffman,).
Dalam melakukan pertunjukan tertentu, aktor mungkin harus mengabaikan standar lain. Akhirnya, aktor mungkin perlu menyembunyikan hinaan, pelecehan, atau perundingan yang dibuat sehingga pertunjukan dapat berlangsung. Umumnya aktor berkepentingan menyembunyikan semua fakta itu dari khalayak (Mulyana, 2013).
Dramaturgi menjelaskan bahwa identitas manusia adalah tidak stabil dan setiap identitas tersebut merupakan bagian kejiwaan psikologis yang mandiri.
BACA JUGA:Lucky Hakim Kampanye Desa Wirakanan, Siap Perbaiki Petani Gagal Panen
Identitas manusia bisa saja berubah-ubah tergantung dari interaksi dengan orang lain, pada titik inilah dramaturgi masuk, bagaimana kita menguasai interaksi tersebut.
Interaksi sosial dalam cara pandang ini dimaknai sama dengan sebuah teatrikal.
Manusia adalah aktor yang berusaha untuk menggabungkan karakteristik personal dan tujuan kepada orang lain melalui pertunjukan dramanya sendiri.
Dalam mencapai tujuannya tersebut aktor politik, menurut konsep dramaturgi manusia akan mengembangkan perilaku perilaku yang mendukung peran aktor politik tersebut.
BACA JUGA: Sebagai Forum Diskusi, Bagian Kesra Kuningan Gelar Silaturahmi Ulama Umara
Realitas komunikasi politik yang dilakukan oleh aktor politik secara teoritik melahirkan beberapa model baru proses politik yang mengiringi demokratisasi ditingkat lokal dimana iklan politik mendorong terjadinya dramaturgi politik.
Teori dramaturgi mengendalikan tindakan manusia dalam masyarakat dianalogikan sebagai drama dan teater. Penampilan individu perlu di bedakan antara panggung depan dan panggung belakang.
Pada panggung depan, politisi memiliki kesempatan untuk menciptakan citra yang diinginkan publik. Skenario dan penampilan pada panggung depan sering kali sangat berbeda dari apa yang terjadi di panggung belakang, di mana strategi politik dirancang dan dipersiapkan.
Dalam konteks pemilihan kepala daerah (Pilkada) Kota Cirebon para calon Wali Kota Seperti Eti Herawati, Efendi Edo, dan Dani Mardani berusaha ”memanfaatkan” dramaturgi untuk membangun citra diri yang kuat di mata publik.
BACA JUGA:Paslon Ridho-Kamdan Dapat Dukungan dari Buruh Bangunan
Misalnya para calon Wali Kota tersebut langsung bergerak cepat untuk “menggoda” publik dengan memasang baligo yang diharapkan menjadi identitas diri, karakter ataupun ciri khas masing-masing calon.
Seperti Eti Herawati secara “konsisten” menggunakan batik cirebonan dengan motif mega mendung yang identik dan bahkan menjadi ikon batik daerah Cirebon.