Perkembangan Psikologis Dampak Digitalisasi

Jumat 08 Nov 2024 - 16:26 WIB
Reporter : Bambang
Editor : Bambang

Otak kita hanya mampu memproses sebanyak 5 informasi dalam satu waktu spesifik (Li dkk., 2022; Marois & Ivanoff, 2005). 

Jika lebih dari itu, memori kerja akan mengalami kesulitan dan membuat produktivitas menurun. Dan orang-orang besar; orang-orang sukses; paham betul persoalan tersebut sehingga mereka menyusun skala prioritas untuk hal-hal yang harus mereka kerjakan.

Selain itu, ketika orang-orang sukses tersebut baru bangun tidur, mereka tidak langsung menyibukkan otak mereka dengan informasi-informasi yang berlebihan. 

Mereka bangun tidur, tidak langsung bekerja. Mereka bangun tidur lalu olahraga 20 menit, melakukan refleksi diri 20 menit, dan baru mereka memberi sedikit suplemen informasi ke otak melalui kegiatan membaca buku, berita, nonton video, dan sebagainya selama 20 menit juga (Sharma, 2018).

BACA JUGA:Ratusan Lembar Surat Suara Untuk Pilgub Jabar Ditemukan Rusak

Ditambah, mereka tidak pernah menggunakan otak mereka untuk memikirkan sesuatu yang tidak perlu. 

Bahkan termasuk untuk urusan yang paling sederhana seperti pakaian. Mark Zuckerberg, CEO dan salah satu founder Meta; serta mendiang Steve Jobs mantan CEO Apple; selalu terlihat menggunakan pakaian yang sama sehingga membuat banyak orang bertanya, apa alasannya?

Ternyata alasannya adalah karena otak mereka hanya digunakan untuk pengambilan keputusan yang penting (Yerunkar, 2024). 

Bukan untuk memikirkan kasus perselingkuhan artis. Bukan untuk menghujat seseorang di kolom komentar. Sebab itulah mereka terhindar dari dampak buruk globalisasi dan digitalisasi secara psikologis.

BACA JUGA: 3.829 Orang KPPS Siap Bertugas di 547 TPS di Kota Cirebon

Mereka tetap bisa mengobrol secara online. Menonton video secara online. Tetapi, mereka membatasi informasi apa yang harus diproses oleh otak mereka.

Berbicara mengenai digitalisasi dan globalisasi juga berbicara mengenai faktor sosiologi.

Hari-hari belakangan begitu jamak dapat ditemukan kolektif-kolektif, komunitas, organisasi yang aktif berkegiatan di ruang-ruang digital.

Akan tetapi, jamak juga kita temukan orang-orang atau kelompok-kelompok yang tadinya sering bergumul menjadi jauh akibat dari digitalisasi dan globalisasi. 

BACA JUGA:Forum Komunikasi Difabel Cirebon Perkuat Kelompok Inklusi dan Kelompok Difabel Desa

Siapakah yang harus disalahkan atas fenomena tersebut? Saya menemukan jawaban itu pada cara Bruno Latour—sosiolog dan filsuf asal Perancis—melihat globalisasi dan digitalisasi (Latour, 2005).

Tags :
Kategori :

Terkait