Globalisasi bagi Bruno Latour selaiknya menghubungkan satu orang dengan orang lain, satu rt dengan rt lain, satu rw dengan rw lain, satu kelurahan dengan kelurahan lain, satu kecamatan dengan kecamatan lain, satu kabupaten/kota dengan kabupaten/kota lain, satu provinsi dengan provinsi lain, satu negara dengan negara lain.
Globalisasi adalah soal membangun koneksi antara 38 provinsi, 416 kabupten, 98 kota, 7.094 kecamatan, 8.506 kelurahan, dan 74.961 desa di Indonesia juga dengan dunia. Bagi Latour, globalisasi adalah lokal di semua titik.
Globalisasi bukan perkara menjajah orang lain melalui nilai-nilai atau kebudayaan dari negara lain seolah-olah manusia adalah benda mati yang tidak aktif berperan.
BACA JUGA:Mandeknya Pembahasan RAPBD 2025 Bisa Ganggu Roda Pemerintahan dan Hak Keuangan Pejabat
Globalisasi selalu perihal melokalkan nilai dari tempat lain di tempat kita. Kitalah yang menentukan apakah kita mau mengadopsinya atau tidak.
Maka, fenomena menjauhkan yang dekat dan mendekatkan yang jauh bukan salah media sosial. Bukan salah smartphone. Tapi salah kita, karena mengadopsi cara yang salah dalam menggunakan teknologi dan kemajuan yang ada.
Kutukan sebagaimana yang dikemukakan oleh Sophocles di awal orasi saya, tidak bisa dengan serta merta dilihat hanya sebagai sebuah bencana.
Dalam cerita kontak pandora, isi dari kotak yang dibuka oleh pandora adalah kumpulan dari bencana, penyakit, dan wabah yang dikumpulkan oleh Zeus.
BACA JUGA:Tangani Kawasan Permukiman Kumuh, DPRKP : Perlu Inovasi yang Berikan Dampak Signifikan
Dan kita tahu, bahwa dalam cerita tersebut, ketika bencana, penyakit dan wabah tersebut menyembul keluar dari kotak terdapat satu hal yang tersisa, yakni harapan.
Apakah harapan adalah bencana, penyakit dan wabah? Atau harapan adalah obat dari bencana, penyakit, dan wabah? Kita sendirilah yang menentukannya.
Bukan digitalisasi dan globalisasi yang menjauhkan orang-orang di sekitar kita, tapi kitalah yang menjauhkan mereka.
Bukan digitalisasi dan globalisasi yang mengikis budaya, kearifan, dan nilai-nilai lokal, tapi kita sendirilah yang memutuskan untuk mengikis budaya, kearifan, dan nilai-nilai lokal itu. (*)
*Mahasiswa Pascasarjana UIN Siber Syekh Nurjati Cirebon