Sepertinya Jadi Kepala Daerah Itu Banyak Tidak Enaknya
Ilustrasi kepala daerah.-istimewa-
Oleh: Satrio Luhur Pambudi*
MEMBACA 2 artikel di halaman Wacana Radar Cirebon hari Kamis, 29 Agustus 2024 berjudul Memang Jadi Kepala Daerah Itu Enak? dan Hari Jumat, 30 Agustus 2024 berjudul Jawaban Seorang Awam untuk Artikel Agung Sedijono, rasanya menarik perhatian saya turut serta untuk memberikan warna tersendiri pada halaman Wacana di koran ini.
Idealnya, yang seharusnya responsif menulis artikel-artikel dengan tema itu adalah sosok yang pernah menjabat sebagai Kepala Daerah (Bupati atau Wali Kota). Karena merekalah yang merasakan betul bagaimana pahit-getirnya.
Bukan asem-manisnya. Untuk itu, bolehlah saya pun merasa percaya diri untuk mengatakan bahwa jadi Kepala Daerah itu banyak tidak enaknya.
BACA JUGA:Produk UMKM Layak Masuk Pasar Modern
Berbeda dengan Pak Syarif yang mengatakan enak, karena Kepala Daerah memiliki hak protokoler dengan kedudukan sangat berharga dan memiliki hak keuangan berupa gaji dan tunjangan yang besar.
Lagian, kalau tidak enak mana ada yang mau berlelah-lelah mengikuti kontestasi pilkada, tulisnya. Mereka dalam perjalanan memimpin daerah memiliki kekuasaan dan keistimewaan yang luar biasa.
Baiklah, saya sebagai orang yang hari-hari bergaul dalam lingkungan kampus juga tidak luput dari pendengaran dan penglihatan terhadap sosok Kepala Daerah di tingkat kabupaten/kota. Sedikitnya ada 8 (delapan) alasan, mengapa menjadi Kepala Daerah itu banyak tidak enaknya.
1. Memerlukan Modal Besar
BACA JUGA:Tinumpuk Juara Umum MTQ Tingkat Kecamatan
Di era digital ini tampaknya telah menguak berbagai fenomena kehidupan dengan sangat jelas bahkan vulgar. Tak terkecuali, siapapun yang ingin mencalonkan diri sebagai Kepala Daerah harus mengeluarkana biaya (uang) yang sangat besar yang jumlah nolnya minimal 9. Lalu timbul pertanyaan: untuk apa dan dari mana asal uang itu?
Jawabannya tentu sudah bisa ditebak bahwa uang itu digunakan untuk: pertama, biaya pra kampanye (tebar pesona menciptakan daya pikat di hati masyarakat) sebelum secara resmi mencalonkan diri. Kedua, biaya memperoleh rekomendasi dari partai pengusung (memang mungkin saja ada yang gratis, tapi kemungkiannya sangat kecil).
Ketiga biaya kampanye, dan keempat mungkin saja syukuran kemenangan. Sementara itu uang bisa saja berasal dari pribadi, sponsor, atau kedua-duanya.
2. Tiada Hari Tanpa Memikirkan dan Menyelesaikan Masalah di 5 Tahun Ke Belakang