Meritokrasi, Jalan Menuju World Class Bureaucracy
ilustrasi ASN--
BACA JUGA:Tanpa Nashrudin Azis, Momen Pisah Sambut Walikota Terasa Haru
Sistem merit, dalam presfektif sejarah, mulai dilakukan di zaman Dinasti Qin dan Han di China. Dinasti ini mengenalkan sistem merit melalui sistem pendidikan dan pelatihan, diikuti dengan ujian dan seleksi bagi calon-calon pejabat pemerintahan.
Dalam upaya melaksanakan kekuasaan kerajaan yang wilayahnya begitu luas, besar, dan menyebar, pemerintahan Dinasti Qin dan Han menghadapi ruwetnya jaringan jabatan yang kompleks. Prospektif jabatan tak terbatas bisa diisi oleh calon dan mobilitas pejabat pemerintah. Tingkatan atau peringkat jabatan ditetapkan dengan melakukan sistem merit tersebut.
Akhirnya, sistem sembilan tingkatan (nine-rank system) jabatan dibentuk oleh tiga dinasti kerajaan setelah Dinasti Qin dan Han. Dari China, konsep sistem merit kemudian menyebar dipergunakan di British India di abad ke-17 dan kemudian ke daratan Eropa dan Amerika.
Negara kita semenjak pemerintahan di awal kemerdekaan sampai sekarang juga telah mengenal dan melaksanakan sistem merit dalam manajemen pemerintahan. Akan tetapi, upaya pelaksanaannya tidak seperti yang diharapkan. Selain itu, netralitas pejabat pemerintah yang membutuhkan merupakan dasar pertimbangan pokok yang tak bisa diabaikan.
BACA JUGA:BMKG: Tanggal 11-20 Desember Waspada Banjir di Jabar
Prinsip netralitas menunjukkan tak ada unsur kedekatan kepentingan, seperti keluarga, suku, daerah, almamater, agama, politik, dan konglomerasi. Selain kompetensi dan netralitas, unsur kejujuran dan loyalitas yang menekankan pada akhlak juga menjadi pertimbangan bagi calon aparatur pemerintah, baik sipil maupun militer. Yang terjadi selama ini, sistem merit dilaksanakan, tetapi banyak dimanipulasi secara sengaja.
Proses pengangkatan calon secara diam-diam dilakukan dengan melanggar konsepsi disiplin ilmu. Kompetensi calon diganti menjadi kepentingan pemegang kekuasaan. Keahlian dan profesionalisme menjadi sebaliknya, sesuai dengan persepsi dan keinginan pemegang kekuasaan. Terkait netralitas, dalam pelaksanaannya, semua ditentukan oleh pertimbangan kedekatan calon dengan pemegang kekuasaan.
Cara melaksanakan sistem merit seperti itu berlangsung lama dalam praktik pemerintahan, lebih-lebih pada pemerintahan Orde Baru yang berlangsung hampir 32 tahun. Bahkan, sisa-sisa pemerintahan Orde Baru masih terasa dipraktikkan sampai sekarang. Itulah sebabnya, pada 2014, dengan dipelopori Komisi II DPR, terbentuk UU ASN yang sarat dengan upaya menegakkan sistem merit ini.
UU ini oleh pemerintah pernah ditolak, bahkan aparat pemda dengan disponsori dan didukung pemerintah pusat berdemonstrasi menolak UU ASN. UU ini banyak menghadapi rintangan, baik di kalangan politik di DPR sendiri maupun di birokrasi pemerintahan. Bahkan, DPR, sebagai lembaga tempat inisiatif pembentukan UU ini berasal, berencana merevisi dan menghapus adanya Komisi ASN, suatu lembaga penjaga sistem merit (merit system protection board).
BACA JUGA:Presiden Janji Beri Tambahan dan Permudah Pembelian Pupuk Bersubsidi
Tidak efektifnya pelaksanaan sistem merit salah satunya karena pendekatan kekuasaan dijalankan oleh pejabat pemerintah. Manajemen pemerintahan yang sentralistik lebih mengutamakan pendekatan kekuasaan atau otoritas yang dipegang oleh pemegang jabatan, lebih-lebih jika pemegang jabatan itu pejabat politik dari parpol. Akibatnya, semua tergantung persepsi pemegang kekuasaan.
Ketegasan dan loyalitas melaksanakan UU yang ada menjadi samar-samar sesuai dengan aspirasi politik yang menjadi dasar pertimbangan pemegang kekuasaan jabatan.
Politik kekuasaan inilah yang selama ini mewarnai manajemen pemerintahan kita. Manajemen pemerintahan memang tanpa kekuasaan, bukan lagi menjadi pemerintahan yang berdaulat. Namun, kekuasaan yang selalu jadi andalan dalam manajemen pemerintahan, tanpa melihat pendekatan lain yang aspiratif dan humanitif, akan banyak penyimpangan.
MERITOKRASI: JALAN PANJANG MENUJU WORLD CLASS BUREAUCRACY
Visi Indonesia Emas di Tahun 2045 telah ditetapkan, yakni menjadikan Indonesia sebagai negara yang berdaulat, maju, adil dan makmur. Salah satu pilar yang mendukung pembangunan Indonesia 2045 adalah pembangunan manusia serta penguasaan ilmu pengetahuan dan teknologi.