Ruhani Manusia dan Filsafat Puasa

Ilustrasi--

Oleh: H Muhamad Jaenudin SAg MH

PENGEMBARAAN ruh (baca: ruhani) manusia memang mengalami proses dan perjalanan panjang nan melelahkan. Setiap ruh manusia pada awalnya adalah suci. Ia merupakan pancaran dari Dzat Sang Maha Suci, Robbul Izzati. 

Hal ini juga bisa disimpulkan dari proses dialogis ruh dengan Sang Kholik ketika sang janin pertama kali ditiupkan ruh kepadanya di alam rahim, lalu ditanya apakah Allah tuhanmu? Maka pada saat itu ruh pun bersaksi bahwa Allah sebagai Tuhannya (QS. Al-A’rof: 172).

Semenjak ruh bersemayam dalam raga, maka babak baru kehidupan pun dimulai. Ruh yang bersifat immateril itupun “dipaksa” untuk berhubungan dengan hal-hal duniawi yang penuh kepalsuan, kepura-puraan bahkan kekejaman.

Ruh kemudian kerapkali harus melakukan hal yang menciderai kodrat sucinya. Nilai-nilai fitrah ruh akan ternodai setiap kali manusia melakukan dosa. Sebuah teori yang dikemukakan oleh Imam al-Ghozali, bahwa dalam tiap diri dibekali hati nurani. 

BACA JUGA:MMKSI Hadirkan Masa Depan Kendaraan Komersial di GIICOMVEC 2024

Sesuai dengan makna katanya, “hati Nurani” berarti hati yang disinari (cahaya Ilahi). Hati nurani yang masih berfungsi dengan benar menurut Ulama Pengarang Kitab Ihyaa Ulumuddiin ini, laksana sebuah cermin yang akan senantiasa memantulkan cahaya kebenaran yang datangnya dari Tuhan. 

Namun setiap kali manusia melakukan dosa maka akan terbentuk sebuah noda yang menutupi cermin. Begitu seterusnya cermin itu penuh dengan noda karena terlalu banyaknya dosa yang dilakukan. Pada kondisi ini, maka cermin sudah tidak lagi peka menangkap dan memantulkan cahaya Ilahi.

Senada dengan teori cerminnya al-Ghozali, sorang filosof Islam, Al-Nazzam berpendapat bahwa ruh adalah jism dari jiwa. Awalnya Ia hidup dengan sendirinya. 

Lalu Ia masuk dan bercampur dengan badan sehingga persatuan tersebut menjadi bencana, mengekang dan mempersempit ruang lingkup sang ruh. Keadaan ruh kerap kali merasa tersiksa terutama saat manusia melakukan kedurhakaan pada Tuhan.

BACA JUGA:Kompakdesi Siap Kolaborasi untuk Membangun Daerah

Maka tugas kita selama hidup adalah sebisa mungkin melakukan kebajikan sebanyak-banyaknya agar ruh yang bersemayam dalam badan kita merasa tenang dan bahagia. Namun sayang kebanyakan manusia memperturutkan hawa nafsunya. Ia tergoda dengan manisnya dunia.

Begitu kesempatan hidup itu telah habis, dan kematian di depan mata ia akan menyesal. Seorang Filosof sekaligus Ulama abad pertengahan, Ibnu Arobi saat menafsirkan ayat Innaa lillaahi wa inna ilayhi raaji`uun, mengatakan bahwa saat lahir, ruh manusia berwujud sama. 

Namun karena kedurhakaannya, maka saat kembali kepada-Nya, wujud mereka berbeda-beda. Ada yang berujud anjing, kera, babi, atau lebih buruk lagi. Ada juga yang berujud sangat mulia, lebih baik dari wujudnya di dunia. 

Tag
Share
Berita Terkini
Berita Terpopuler
Berita Pilihan