Literasi yang Keropos

Ilustrasi--freepik

Oleh: Ratna Ningsih

MEMBACA dan menulis seperti kata Bambang Sugiharto adalah bahan bakar menghidupkan dan menjalankan mesin kesadaran, atau bagai air yang menyuburkan pemikiran (Mushthafa, 2013).

Membaca dan menulis merupakan nama lain dari literasi. Istilah ini lekat dalam pikiran setiap kita bahwa literasi merupakan kegiatan yang berhubungan erat dengan proses membaca yang berlanjut pada kegiatan menulis.

Menulis dalam hal ini tentu bukanlah menyalin atau meresume buku, melainkan menuangkan gagasan atau pemikiran dalam bentuk tulisan. Makna literasi tidak terbatas sampai di situ.

Secara substansial, literasi adalah pengetahuan yang menuntun para pegiatnya berkewajiban mengubah cara berpikir manusia sebagai tugas intelektualnya (Foucault, 2019).

BACA JUGA:Mengatasi Darurat Moral

Untuk itu, pegiat literasi perlu merawat literasi dengan hati-hati dan dipandu nalar kritis membaca pergerakan zaman yang dapat membawa ancaman eksistensial terhadap keberadaan literasi itu sendiri.

Mengingat, selain sebagai pengetahuan, literasi adalah unsur pokok peradaban.

Pertanyaannya, pergerakan zaman seperti apa yang dapat membawa ancaman eksistensial bagi keberadaan literasi? Apakah ancaman tersebut mempengaruhi kualitas literasi?

Ataukah sejak awal ancaman sedemikian rupa memang telah datang silih berganti hingga zaman kiwari, sehingga membuat literasi kebal dengan sendirinya?

BACA JUGA:Sultan Kacirebonan dan Presiden IKBC Rayakan Hari Nasional Kuwait ke-63

Untuk menjawab ini, penulis perlu mengemukakan satu realitas faktual yang terjadi dimana-mana.

Meski belum berdampak, tapi ke depan, akan jadi masalah besar. 

Realitas faktual yang dimaksud adalah kapitalisasi literasi. Kapitalisasi literasi yang dimaknai sepintas, bukanlah masalah, tetapi akan menimbulkan masalah baru di kemudian hari.

Tag
Share