MUI Bahas Sertifikasi Pendakwah

Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI Zainut Tauhid Sa'adi mendorong munculnya wacana sertifikasi bagi juru dakwah, setelah ramainya berita ustad mengumpat penjual es teh.-ist-radar cirebon

Ceramah kontroversial Miftah Maulana Habiburohman atau Gus Miftah yang diwarnai umpatan kasar kepada seorang penjual es teh, memicu reaksi luas di masyarakat. Insiden ini juga mendorong munculnya wacana sertifikasi bagi juru dakwah, sebagai langkah untuk mencegah kejadian serupa terulang.

Majelis Ulama Indonesia (MUI) merespons positif wacana ini, namun dengan beberapa catatan penting. Wakil Ketua Dewan Pertimbangan MUI, Zainut Tauhid Sa'adi menyarankan pendekatan yang lebih konstruktif. "Meskipun secara pribadi saya lebih senang menggunakan istilah program penguatan kompetensi juru dakwah daripada sertifikasi," ujarnya di Jakarta, Rabu (11/12).

Menurut Zainut, istilah sertifikasi terlalu formal dan dapat menimbulkan kesan penyeragaman. Ia khawatir penerapan sertifikasi secara ketat akan menimbulkan dampak negatif. "Saya tidak bisa membayangkan kalau program sertifikasi juru dakwah nanti diberlakukan, maka hanya para juru dakwah yang memiliki sertifikat saja yang boleh berceramah," katanya.

Kondisi ini dapat merugikan para ustad dan kiyai di kampung yang meskipun tidak memiliki sertifikat, seringkali memiliki keilmuan agama yang sangat mendalam. Sebagai alternatif, Zainut mendorong program penguatan kompetensi juru dakwah yang lebih menitikberatkan pada peningkatan kualitas.

BACA JUGA:MK Pastikan Hakim Konstitusi Independen

Program penguatan kompetensi dirancang untuk memperluas wawasan para juru dakwah, baik dari sisi materi dakwah, metodologi, maupun pemahaman tentang isu-isu kebangsaan. Materi yang disampaikan mencakup berbagai topik, seperti relasi agama dan negara, moderasi beragama, literasi media digital, hingga strategi dakwah yang relevan untuk generasi muda, khususnya Gen Z.

"Substansi materi penguatan kompetensi lebih pada pengayaan wawasan dan penguatan metodologi dakwahnya," tegas Zainut, yang juga pernah menjabat sebagai Wakil Menteri Agama.

Zainut juga menekankan bahwa program ini bertujuan untuk mendorong nilai-nilai moderasi beragama, toleransi, dan inklusivitas dalam setiap dakwah yang disampaikan. Program ini, menurutnya, sebaiknya bersifat sukarela dan tidak diwajibkan.

Peserta program dapat berasal dari berbagai elemen masyarakat, termasuk individu, ormas Islam, majelis taklim, atau lembaga keagamaan lainnya. Penyelenggaraan program ini dapat dilakukan oleh Kementerian Agama, organisasi keagamaan Islam, hingga perguruan tinggi keagamaan.

BACA JUGA:Target Pemerintahan Pindah ke IKN 2029

Meskipun peserta dapat menerima sertifikat setelah mengikuti program ini, Zainut menegaskan bahwa sertifikasi bukanlah inti dari program tersebut. "Penekanannya bukan pada sertifikasinya tetapi lebih pada penguatan kapasitas juru dakwahnya," pungkasnya.

Wacana ini diharapkan dapat menjadi solusi untuk meningkatkan kualitas ceramah di Indonesia, sekaligus mendorong dakwah yang lebih relevan, inklusif, dan sesuai dengan nilai-nilai kebangsaan. (jp)

Tag
Share