Kemasan Rokok Polos Tanpa Merek Ancam Target Ekonomi Pemerintahan Baru

Rokok polos sudah banyak beredar di masyarakat. Kemasan rokok polos tanpa merek ini dapat menekan penerimaan negara. Bahkan, bisa mengancam pertumbuhan ekonomi nasional.-ist-radar cirebon

Kebijakan kemasan rokok polos tanpa merek yang tertuang dalam Rancangan Peraturan Menteri Kesehatan (RPMK) sebagai aturan turunan Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 28 Tahun 2024 tentang Kesehatan, dinilai dapat menekan penerimaan negara. Bahkan, bisa mengancam pertumbuhan ekonomi nasional yang ditargetkan pemerintahan baru.

Subdit Tarif Cukai dan Harga Dasar Direktorat Jenderal Bea dan Cukai (DJBC) Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Ari Kusuma mengatakan, dari empat pilar dalam penyusunan kebijakan produksi hasil tembakau, ekosistem pertembakauan di Indonesia harus diperhatikan secara keseluruhan. Sebab, peran tembakau tidak main-main.

Menurut dia, cukai hasil tembakau (CHT) menyumbang sekitar 12,2 persen dari total keseluruhan penerimaan pajak negara. Nilai tersebut cukup besar jika dilihat kontribusinya dari satu sektor saja.

”Sektor ini harus diperhitungkan ketika membuat kebijakan dan perlu melibatkan banyak pihak, tidak bisa hanya melihat dari satu sisi saja,” ungkap Ari Kusuma, Kamis (26/9).

BACA JUGA:Meski Gagal Ikut Pilkada Jakarta, Anies Sudah Buat Visi-misi, Ini Isinya

Ari memaparkan. perkembangan penyebaran rokok ilegal pada periode 2022-2023, yakni dari 5,5 persen menjadi 6,9 persen. Artinya, ada tantangan yang harus dihadapi pemerintah jika aturan kemasan rokok polos tanpa merek diterapkan. Mulai pemberantasan rokok ilegal dan berbagai tantangan dari sisi penerimaan dan penurunan produksi.

”Kami melihat adanya tantangan dari sisi penerimaan dan akan memengaruhi penurunan produksi yang pada gilirannya memengaruhi penerimaan cukai. Tantangannya juga cukup besar. Ini akan menjadi PR buat kami untuk melakukan optimalisasi dari penerimaan CHT. Kemudian, adanya perubahan pola konsumsi masyarakat hingga maraknya rokok ilegal, sehingga perlu menyusun parameter-parameter dalam perhitungan target penerimaan,” ujar Ari Kusuma.

Ekonom Senior Institute for Development of Economics and Finance (INDEF) Tauhid Ahmad berpendapat, selain kurangnya transparansi dan partisipasi dari pemangku kepentingan terkait, PP 28/2024 maupun RPMK dapat memberikan efek negatif berganda bahkan tiga kali lipat jika melihat target penerimaan cukai yang masih belum tercapai selama tiga tahun terakhir.

”Secara agregat ini menjadi catatan kritis ketika Oktober dan tahun depan sudah berganti pemerintahan yang sangat membutuhkan support anggaran. Ini jadi pertanyaan karena dapat menjadi isu yang kuat. Jika Permenkes diberlakukan, akan terjadi hal yang dikhawatirkan bukan hanya pada penerimaan, tapi juga pada pekerja, industri, dan lainnya,” tegas Tauhid Ahmad.

BACA JUGA:PDIP Tegaskan Pemecatan Caleg DPR Terpilih Tia Rahmania Tak Berkaitan dengan Sikap Kritisnya ke Pimpinan KPK N

Tauhid menekankan pemerintah baru, terutama Menteri Keuangan, akan mengalami tantangan akibat adanya aturan kemasan rokok polos tanpa merek dari pemerintahan saat ini. Aturan tersebut dianggap kian mengkhawatirkan penerimaan negara yang semakin sulit diperoleh.

Berdasar hasil studi dampak penerapan PP 28/2024 dan RPMK tentang Pengamanan Produk Tembakau dan Rokok Elektronik yang dilakukan INDEF melalui tiga skenario kebijakan terkait industri rokok, yaitu rencana kemasan rokok polos tanpa merek, larangan penjualan produk tembakau dalam radius 200 meter dari satuan pendidikan dan tempat bermain anak, serta pembatas iklan rokok luar ruang dalam radius 500 meter dan pembatasan iklan TV dan online, menyimpulkan bahwa aturan-aturan tersebut berpotensi menghilangkan dampak ekonomi sebesar Rp 308 triliun atau setara dengan 1,5 persen dari PDB.

Selain itu, dampak terhadap penerimaan perpajakan diperkirakan akan kehilangan Rp 160,6 triliun atau setara dengan 7 persen dari total penerimaan perpajakan nasional. Kebijakan ini juga berpotensi memengaruhi 2,3 juta tenaga kerja di sektor industri tembakau dan produk turunan atau 1,6 persen dari total penduduk bekerja. Perhitungan dampak dari aturan kemasan rokok polos tanpa merek didapatkan potensi dampak ekonomi yang hilang Rp 182,2 triliun, sementara penerimaan perpajakan dapat menurun hingga Rp 95,6 triliun.

”Kami merekomendasikan PP 28/2024 direvisi, termasuk membatalkan RPMK khususnya pasal yang dinilai akan memberikan dampak ke perekonomian negara. Jika tidak, maka ini akan memberatkan situasi yang terjadi,” tutur Tauhid Ahmad.

Tag
Share