BACA JUGA: DKUKMPP Dorong Penurunan Harga Sembako
Namun hari ini, berubah menjadi sains sebab dapat dibuktikan melalui penelitian di laboratorium, dan lebih spesifik lagi, para saintis telah menciptkan pengetahuan baru yang disebut ‘genetika’ lalu berkembang menjadi rekayasa genetik.
Dan bagi sainstis, tidak mustahil gen durian dikawinkan dengan gen kelapa sehingga melahirkan buah kombinasi antara durian dan kelapa. Sekali lagi, jika filsafat dapat dibuktikan secara empiris maka ia berevolusi menjadi sains.
Jadi posisi filsafat di sini merupakan pengetahuan untuk mendorong seseorang berpikir radikal—radix artinya akar—berpikir radikal artinya berpikir sampai pada akar sebuah masalah.
Mendalam sampai pengembara ke luar sesuatu yang fisik dan seringkali disebut sebagai metafisik, (Suriasumantri, 2005; Musa Asy’arie, 2001: 3).
BACA JUGA:Hari Ini Asdullah Memasuki Masa Pensiun, Posisi Kepala Dishub Masih Kosong
Pengembaraan filsafat melewati batas-batas penginderaan manusia sebagai contoh durian tadi, matanya melihat pohon durian tapi pikirannya mengembara pada alam asal-muasal durian.
Jadi berfilsafat tidak untuk menjawab persoalan teknik seperti ‘tata cara memasak kolak durian’ tetapi bertanya ‘kenapa jika durian ditanam menghasilkan buah durian, bukan buah kelapa?
Ternyata jawabannya, di sana ada hukum yang mengatur, itulah gen. Dari pengetahuan filsafat tersebut dapat kita lanjutkan pertanyaan.
Lalu, siapa yang membuat hukum itu? Jawabannya, yang membuat hukum itulah yang maha mengetahui, ilmunya meliputi sebagala sesuatu, Dia adalah Allah.
BACA JUGA:Beras Impor Vietnam dan Thailand
Namun untuk mengetahui dzat Allah dan sifat-sifat-Nya, cara mengetahui tata cara beribadah pada-Nya, bagaimana mengetahui kebesaran ciptaan-Nya, dan sebagainya sangat membutuhkan pengetahuan, dan itulah yang disebut dengan ilmu, atau disebut juga ilmu syar’i dan ilmu wahyu.
Ilmu wahyu dalam pandangan umat Islam memiliki nilai kebenaran yang mutlak al-haqīqah al-muthlaqah karena langsung berasal dari Allah dan Rasul-Nya.
Tetapi pemahaman terhadap wahyu memungkinkan beberapa alternatif dan tidak bersifat mutlak. Sedangkan sains yang bersumber dari alam semesta memiliki nilai kebenaran yang nisbi atau relative dan eksperimentatif (tajrībī) yang disebut juga sebagai al-haqīqah al-tajrībiyah.
Kebenaran mutlak harus dijadikan burhān sebagai alat untuk mengukur kebenaran yang nisbi, dan jangan sampai terbalik, justru kebenaran yang mutlak diragukan karena bertentangan dengan kebenaran yang nisbi—relatif dan eksperimentatif itu, (Yunahar Ilyas, 2021: 61).
BACA JUGA:Kuburan Jadi Kawasan Perdagangan