Oleh: Achmad Salim
SETIAP kali membuka sosmed, hal yang pertama dilakukan adalah melihat status dan postingan di berbagai media sosial.
Berbagai macam status yang saya saksikan sebagai bentuk ekspresi warga net, seperti; hasil screenshoot chat dengan bestie, kegiatan sehari-hari yang mereka abadikan dalam postingan, hingga kata-kata galau yang dapat mengekspresikan perasaannya.
Selain itu, seringkali saya temukan di berbagai platform media sosial (Facebook, Instagram dan WhatsApp) status atau postingan mengenai potret seseorang yang sedang melakukan kewajiban beribadah tentang nuansa keagamaan yang mencerminkan ritual keagamaan mereka pada saat melakukan kewajiban seperti ibadah, berdoa, dan bersedekah.
Postingan tentang seseorang yang membagikan momen nuansa keagamaan mereka di media sosial membuat saya bertanya, Apakah yang mereka tampilkan di media sosial dapat mencerminkan ketulusan dalam menjalankan praktik keagamaan, ataukah itu hanya pencitraan semata?
BACA JUGA:Pemilu dan Masa Depan Jawa Barat
Dalam era digital yang begitu masif, media sosial telah menjadi panggung utama dalam merepresentasikan diri. Itu sebab, seringkali status atau postingan yang disuguhkan menciptakan sebuah narasi yang dapat mencerminkan ketulusan seseorang atau itu hanyalah upaya sebagai pencitraan.
Beberapa orang mungkin membagikan momen keagamaan mereka sebagai wujud kesungguhan dan dedikasi mereka.
Sementara yang lain, bisa saja melakukan untuk mendapatkan pengakuan atau pujian dari orang lain, ataukah sengaja memposting dirinya 'seolah-olah' sedang melakukan ibadah agar wanita atau pria yang dia sukai merasa kagum dengan dirinya.
Berdasarkan uraian diatas, saya meminjam konsep pemikiran dari Jean Bouldriard seorang tokoh sosiologi modern tentang simulacra.
BACA JUGA:Asnawi Mangkualam Siap Tempur, Cari Tantangan Baru Bersama Port FC di Liga Thailand
Yang di mana media sosial telah 'memaksa' manusia untuk mematikan aktivitas dunia sosialnya yang secara nyata. Kematian tersebut ditandai dengan individu yang seringkali terjebak dalam perangkap simulacra sehingga manusia kerap kali kesulitan membedakan kehidupan nyata dan tidak nyata.
Kehidupan sosial manusia telah di bahas oleh Erving Goffman (1922-1982), seorang sosiolog Kanada dalam bukunya yang berjudul The Presentation of Self in Everyday Life dengan konsep front stage dan back stage sebagai cara untuk menggambarkan perbedaan perilaku seseorang dalam kehidupan sehari-hari antara perilaku publik dan privasi.
Dalam konteks dramaturgi Goffman, kita dapat memahami bahwa postingan tentang keagamaan di media sosial bisa dianggap sebagai bagian dari pertunjukan sosial seseorang.
Orang seringkali menyusun citra diri yang diinginkan dan berpartisipasi dalam tindakan yang memainkan peran tertentu, dan media sosial memberikan panggung bagi pertunjukan ini.