BACA JUGA:Brace Erling Haaland Geser Liverpool di Puncak Klasemen
Dewasa ini, media sosial memainkan peran yang signifikan dalam membentuk dan mengekspresikan identitas keagamaan individu.
Dengan memungkinkan pengguna untuk membagikan pemikiran, pengalaman, dan keyakinan mereka secara luas, platform-platform seperti Facebook, Instagram, dan WhatsApp telah menjadi panggung virtual di mana orang dapat merayakan, merinci, atau merenungkan aspek aspek keagamaan dalam hidup mereka.
Postingan-potingan, foto terkait keagamaan membantu membentuk citra online seseorang, yang pada gilirannya dapat memengaruhi bagaimana orang lain memandang dan mengenali mereka. Sebagai sarana interaksi sosial yang kuat, media sosial juga memfasilitasi terbentuknya komunitas keagamaan online di mana individu dapat saling mendukung, berdiskusi, atau bahkan merayakan ritual keagamaan bersama secara virtual.
Namun, seiring dengan potensi positifnya, media sosial juga dapat memunculkan pertanyaan tentang sejauh mana identitas keagamaan yang diungkapkan di dunia maya mencerminkan identitas sehari-hari seseorang.
BACA JUGA:Profil Akram Afif, Bintang Kemenangan Qatar di Final Piala Asia 2023
Tantangan mempertahankan autentisitas dan mengelola persepsi orang lain terhadap identitas keagamaan menjadi bagian integral dari peran media sosial dalam membentuk dan mendefinisikan bagaimana keagamaan tercermin dalam ranah digital.
Sehingga, media sosial dapat menciptakan kesenjangan antara penampilan dengan realitas.
Pada satu sisi, media sosial dapat memberikan ruang bagi individu untuk berbagi nilai-nilai keagamaan mereka agar dapat menginspirasi orang lain.
Sedangkan disisi lain, terdapat pula sesorang yang melakukan citra palsu terkait kesalehan beragama mereka di media sosial hanya untuk mendapatkan pujian kepada warga net tanpa benar-benar melaksanakan dalam kehidupan sehari-hari mereka, sehingga status di media sosial seringkali potret yang dipilih secara cermat agar dapat menyembunyikan kenyataan di balik layar.
BACA JUGA:Hasil Yordania vs Qatar
Bagi saya, kegiatan keagamaan di media sosial dapat dijadikan sebagai alat positif untuk memposting nilai-nilai keagamaan.
Namun, kita juga harus berhati-hati agar tidak masuk dalam perangkap pencitraan dan kepalsuan.
Kesalehan sejati dalam hal ini hubungan individu dengan Tuhan seharusnya dapat dijadikan sebagai tindakan nyata dalam kehidupan sehari-hari, penting untuk di pahami bahwa, media sosial hanya menciptakan tampilan yang tidak selalu mencerminkan realitas sedangkan praktik kesalehan dalam beragama adalah hal yang bersifat privat yang tidak selalu harus dimunculkan di media sosial. Hidup memang adalah panggung sandiwara, tapi apakah dalam beragama kita perlu bersandiwara? (*)
Penulis adalah Ketua Qohuwa Buntet Pesantren Cirebon