Oleh: Endang Kurnia
RAMADAN bukan sekadar ritual puasa dan peningkatan ibadah formal semata. Lebih dari itu, Ramadan adalah momentum untuk evaluasi diri, termasuk dalam aspek komunikasi yang kita praktikkan sehari-hari.
Bagaimana kita berkomunikasi dengan sesama, bagaimana kita menyikapi informasi yang diterima, dan bagaimana kita berkontribusi dalam ekosistem informasi yang kini semakin kompleks.
Tulisan ini akan mengurai secara mendalam fenomena komunikasi sosial kontemporer dan bagaimana nilai-nilai Ramadan dapat menjadi fondasi untuk membangun pola komunikasi yang lebih sehat, etis, dan konstruktif di tengah masyarakat yang semakin terfragmentasi oleh kepentingan politik, ekonomi, dan identitas.
BACA JUGA:Kurikulum Cinta untuk Pendidikan
Yang pertama adalah tradisi verbal. Tradisi verbal ini menjadi modal sosial yang berharga dalam membangun kohesi sosial.
Namun di sisi lain, kadang menjadi tantangan tersendiri ketika dihadapkan dengan budaya komunikasi digital yang cenderung singkat, cepat, dan seringkali miskin konteks.
Lalu, transformasi ruang publik. Jika dahulu pasar, warung kopi, dan mesjid menjadi ruang publik utama tempat masyarakat bertukar informasi dan membangun konsensus sosial, kini ruang-ruang tersebut telah bertransformasi.
Media sosial, grup WhatsApp, dan forum-forum online menjadi "ruang publik baru" yang mengubah pola komunikasi. Pergeseran ini membawa konsekuensi pada kualitas dan karakteristik komunikasi yang terjadi.
BACA JUGA:Belajar Setahun Dapat Gelar S1 Lansia
Kemudian, polarisasi informasi. Di Indonesia tidak luput dari fenomena polarisasi sosial-politik yang tercermin dalam pola komunikasi masyarakatnya.
Algoritma media sosial yang menciptakan "ruang gema" (echo chamber) semakin memperparah segregasi informasi, di mana orang cenderung hanya terpapar informasi yang sesuai dengan keyakinan politiknya. Fenomena ini tentu mengancam keutuhan sosial dalam jangka panjang.
Selanjutnya krisis literasi. Perkembangan teknologi informasi yang pesat tidak diimbangi dengan peningkatan kapasitas literasi digital masyarakat.
Akibatnya, hoaks dan disinformasi menjadi fenomena yang akut di tengah masyarakat. Riset yang pernah dilakukan pada tahun 2022 menunjukkan bahwa 65 persen responden pernah menyebarkan informasi tanpa melakukan verifikasi terlebih dahulu, terutama jika informasi tersebut relevan dengan identitas sosial-politik mereka.
BACA JUGA:Bagikan Takjil dengan Menyusuri Jalan