Oleh: Achmad Salim
INDONESIA dikenal sebagai negara yang memiliki keragaman agama, suku, dan budaya. Namun, keragaman ini berpotensi memicu konflik, jika tidak dikelola dengan bijak.
Dalam beberapa dekade terakhir, sejumlah insiden menunjukkan adanya ketegangan antar kelompok masyarakat akibat perbedaan keyakinan.
Salah satu penyebabnya adalah pemahaman agama yang eksklusif serta kurangnya pendidikan tentang toleransi sejak usia dini.
BACA JUGA:Bagikan Takjil dengan Menyusuri Jalan
Menteri Agama mengamati bahwa dalam proses pendidikan agama di sekolah, seringkali ditekankan bahwa agama yang dianut adalah yang paling benar.
Sementara agama lainnya dianggap kurang tepat atau bahkan salah. Ini bisa menumbuhkan rasa kebencian terhadap pemeluk agama lain.
Sebagai respons terhadap fenomena ini, Kurikulum Cinta dirancang untuk mengajarkan agama dengan pendekatan yang lebih inklusif.
Dengan menekankan persamaan dan nilai-nilai universal yang terdapat dalam setiap ajaran agama (kemenag.go.id, 16/1/2025).
BACA JUGA:Forkopimda Hadiri Nuzulul Quran
Kasih sayang adalah perasaan peduli dan perhatian terhadap orang lain, sedangkan toleransi adalah sikap menerima dan menghargai perbedaan yang ada.
Kedua nilai ini saling berkaitan dan sangat penting untuk diajarkan kepada anak sejak dini. Proses ini bukan hanya menjadi tanggung jawab sekolah, tetapi juga keluarga dan lingkungan sekitar.
Seiring dengan pesatnya kemajuan zaman, siswa tak hanya membutuhkan kecerdasan akademis. Tetapi kualitas emosional dan sosial yang mendalam untuk membantu mereka membangun hubungan yang harmonis dengan orang lain.
Salah satu pendekatan yang dapat dilakukan dengan Kurikulum Cinta, yang berfokus pada pengembangan nilai-nilai kasih sayang.
BACA JUGA:Walikota dan Wakil Walikota Belum Dapat THR