Topeng Kekeluargaan
Ilustrasi praktik nepotisme.-istimewa-
BACA JUGA:PD Pemuda Muhammadiyah Kuningan Luncuran Kampung Alpukat, Program Pemberdayaan Ekonomi Rakyat
Dengan mengubah budaya organisasi atau masyarakat secara keseluruhan untuk memprioritaskan kualifikasi dan kinerja daripada hubungan personal, kita dapat membentuk lingkungan yang lebih inklusif dan berkeadilan.
Memahami nepotisme dalam perspektif teori kesadaran palsu mengundang kita untuk lebih kritis terhadap motivasi dan tindakan kita sendiri, serta untuk menantang norma-norma sosial yang mungkin memperkuat praktik-praktik tidak adil.
Dengan demikian, kita dapat memperjuangkan sistem yang lebih transparan, berkeadilan, dan didasarkan pada nilai-nilai meritokrasi yang sejati.
Namun, dari perspektif kesadaran palsu, nilai-nilai kekeluargaan ini dapat dimanipulasi oleh kelas penguasa untuk mempertahankan status quo dan kekuasaan mereka.
Praktik nepotisme sering kali dilihat sebagai bentuk perwujudan dari nilai-nilai kekeluargaan, meskipun pada kenyataannya, ia sering kali digunakan untuk memperkuat kekuasaan dan posisi sosial kelompok elit.
Masyarakat mungkin menerima dan bahkan mendukung praktik nepotisme karena mereka percaya bahwa itu adalah cara yang sah untuk mendukung keluarga, padahal sebenarnya praktik tersebut memperkuat ketidakadilan dan ketimpangan sosial.
Di Indonesia, banyak orang menginternalisasi ideologi yang mendukung nepotisme sebagai bagian dari kehidupan sehari-hari.
Kelas pekerja, misalnya, mungkin merasa bahwa mereka harus menerima praktik nepotisme sebagai bagian dari budaya dan norma sosial.
BACA JUGA:Bawaslu Petakan Indeks Kerawanan Pilkada 2024
Mereka mungkin melihatnya sebagai sesuatu yang tidak dapat dihindari dan bahkan sebagai sesuatu yang positif karena dapat memberikan keamanan dan stabilitas ekonomi bagi keluarga mereka.
Namun, pada kenyataannya, praktik nepotisme ini sering kali merugikan mereka.
Ketika posisi-posisi penting diisi oleh individu-individu yang kurang kompeten hanya karena hubungan keluarga, ini menghambat mobilitas sosial dan merusak efisiensi serta produktivitas. (*)
Penulis adalah Dosen UNU