Stigma Patriarki Perempuan

Ilustrasi diskriminasi terhadap perempuan.-istimewa-radar cirebon

Oleh: Wariah* 

MENJADI seorang perempuan adalah hal yang sulit karena kerap mendapatkan stigma-stigma tertentu dari masyarakat yang selalu menyimpang. 

Misalnya saja perempuan yang tidak hamil hamil pasti disudutkan, perempuan yang memutuskan untuk childfree di hakimi, perempuan yang menikah muda pasti di gosipkan, perempuan yang terlalu fokus kerja sampai menunda-nunda menikah dikata-katain nanti jadi perawan tua dan perempuan yang menjadi seorang janda pasti di kucilkan.

Di antara seluruh stigma buruk terhadap perempuan, terdapat satu stigma yang sangat memprihatinkan dan sudah selayaknya untuk dihentikan. Yakni, stigma yang selalu memberi kesan negatif kepada perempuan yang berstatus janda.

BACA JUGA:Gala Siswa, Kota Cirebon Bidik Semifinal

Budaya kita selalu memberi kesan negatif kepada janda. Janda adalah perempuan yang tidak bersuami lagi karena bercerai atau karena ditinggal mati suaminya.

Apalagi semakin berkembangnya zaman dan teknologi, pandangan terhadap para janda tetap sama buruknya, baik dari media lagu, film, maupun sinetron selalu memperkuat stigma negatif yang sudah ada di masyarakat dan menghambat upaya untuk mengubah pola piker terhadap perempuan berstatus janda.

Padahal tentu saja tidak ada satu orang perempuan pun yang menikah dan sengaja ingin menjadi janda. Semua perempuan yang akhirnya berstatus sebagai janda pasti memiliki alasannya masing-masing yang tentu saja rasional.

Perempuan menjadi janda disebabkan oleh beberapa faktor yang berasal dari diri sendiri, pasangan, juga faktor eksternal.

BACA JUGA:Stop Perkawinan Anak!

Dari data menurut laporan Statistik Indonesia, sepanjang tahun 2023 ada 463.654 kasus perceraian di Indonesia dan cerai gugat diajukan pihak istri dan telah diputuskan oleh pengadilan. 

Faktor utama dari perceraian tersebut ialah perselisihan dan pertengkaran yang dilatarbelakangi alasan permasalahan ekonomi, salah satu pihak mencampakkan maupun meninggalkan, poligami, hingga kekerasan dalam rumah tangga (KDRT).

Sebelum memutuskan untuk menggugat cerai, pihak istri sudah pasti mempertimbangkan semua aspek dengan matang, mencari solusi alternatif dan berkonsultasi dengan pihak-pihak yang kompeten. 

Jika keputusannya sudah bulat dalam memutuskan untuk mengakhiri hubungan suami-istri, artinya ia sudah tidak sanggup lagi membina rumah tangganya.

Tag
Share