IPAK 2023: Mengurai Akar Budaya Korupsi

Ilustrasi korupsi-jawapos-

Oleh: Harri Ramdhani SE

BARU-BARU ini ini masyarakat Indonesia dikejutkan dengan ditetapkannya Ketua KPK, Firli Bahuri, sebagai tersangka dalam perkara tindak pidana korupsi berupa pemerasan atau penerimaan gratifikasi yang berhubungan dengan jabatannya. Kasus ini konon terkait penanganan permasalahan hukum di Kementan RI pada kurun waktu 2020–2023.

Masyarakat menjadi bertanya-tanya, bagaimana mungkin pimpinan tertinggi sebuah institusi yang menjadi garda terdepan pemberantasan korupsi di negeri ini bisa terjerat kasus yang notabene menjadi “musuh besar” institusi-nya.

Sebagai pimpinan tertinggi KPK, beliau seharusnya mengetahui dan khatam cara menjaga marwah KPK dalam mengawal pemberantasan korupsi di negeri ini. Namun apa dikata, yang terjadi justru sebaliknya. Penetapannya sebagai tersangka kasus pemerasan dan gratifikasi bagaikan petir di siang bolong, sangat mengagetkan. Kejadian ini sedikit banyak menjadikan kita sadar bahwa korupsi, kolusi dan nepotisme masih menggurita di negeri ini.

Mengapa tindakan Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (KKN) masih ada di negeri ini dan terkesan sulit dihilangkan? Menurut penulis, jawabannya adalah karena tindakan KKN ini sudah sangat membudaya dan terjadi di semua level/lapisan masyarakat, tidak hanya ada di level atas namun di level bawah juga terjadi.

BACA JUGA:Laga Hidup Mati

Sebagai contoh, saat diberhentikan oleh polisi untuk ditilang, banyak yang memilih untuk “damai” atau “sidang di tempat” atau ketika mengurus segala sesuatu kita harus membayar “uang tips” di luar biaya resmi. Ini adalah contoh petty corruption, atau korupsi kecil yang membudaya di masyarakat.

Akar dari budaya korupsi ini yang diukur oleh BPS melalui sebuah survey yang bernama SPAK (Survei Perilaku Anti Korupsi). Survey ini menanyakan kepada masyarakat berbagai macam kegiatan yang mengarah pada akar budaya korupsi. Pertanyaan-pernyataan survey ini harus dijawab berdasarkan persepsi dan pengalaman dari setiap responden.
Sejak 2012 hingga 2023 (kecuali 2016), BPS melaksanakan SPAK. Tujuan SPAK sendiri adalah untuk mengukur tingkat perilaku antikorupsi masyarakat dengan menggunakan indeks yang bernama IPAK (Indeks Perilaku Anti Korupsi). Survei ini hanya mengukur perilaku masyarakat dalam tindakan korupsi skala kecil (petty corruption) dan tidak mencakup korupsi skala besar (grand corruption).

Data yang dikumpulkan mencakup pendapat terhadap kebiasaan di masyarakat dan pengalaman berhubungan dengan layanan publik baik dalam hal perilaku penyuapan (bribery), gratifikasi (graft/gratuities), pemerasan (extortion), nepotisme (nepotism), dan sembilan nilai antikorupsi. Perilaku patty corruption tersebut biasa terjadi di segala lapisan masyarakat.

BACA JUGA:Pengurus Cabang Taekwondo Indonesia Kota Cirebon Resmi Dilantik, Masa Bakti 2022-2026

Seperti misalnya ada peristiwa “sogok-menyogok” untuk bisa diterima di sebuah sekolah/pekerjaan atau adanya kemudahan-kemudahan (privilege) mengurus/mendapatkan sesuatu dengan melibatkan “orang dalam”.

IPAK disusun berdasarkan dua dimensi, yaitu Dimensi Persepsi dan Dimensi Pengalaman. Setiap dimensi dalam IPAK memiliki subdimensi. Subdimensi digunakan untuk membangun indeks dimensi. Dimensi Persepsi terdiri dari tiga subdimensi, yaitu subdimensi persepsi keluarga, persepsi komunitas, dan persepsi publik. Sementara itu, dimensi pengalaman terdiri dari dua subdimensi, yaitu subdimensi pengalaman publik dan pengalaman lainnya.

Dalam BRS (Berita Resmi Statistik) No. 78/11/Th. XXVI, yang dirilis BPS pada 6 November 2023, IPAK tahun 2023 adalah sebesar 3,92, lebih rendah dibandingkan capaian IPAK tahun 2022 (3,93). Jika mengamati IPAK sejak 2020 sampai dengan 2023 (IPAK 2020 = 3,84; 2021 = 3,88; 2022 = 3,93; 2023 = 3,92), dapat terlihat bahwa nilai IPAK cenderung meningkat dari tahun ke tahun, walaupun terkadang mengalami fluktuasi (seperti yang dicapai pada tahun ini / IPAK turun).

Hal yang sama juga terjadi untuk nilai Indeks Persepsi, yaitu secara umum terlihat adanya kenaikan Indeks Persepsi dari tahun 2020 sampai dengan tahun 2023 (2020 = 3,68; 2021 = 3,83; 2022 = 3,80; 2023 = 3,82). Hal ini menunjukkan adanya peningkatan pemahaman dan penilaian masyarakat terkait perilaku antikorupsi.

BACA JUGA:Pengurus Cabang Taekwondo Indonesia Kota Cirebon Resmi Dilantik, Masa Bakti 2022-2026

Tag
Share