Ketika Musim Kondangan Tiba
ilustrasi--
Oleh: Asep Budi Setiawan*
SULIT dipungkiri, saya masih peduli pada hitungan-hitungan. Ada bulan baik, ada hari baik. Sulung nikah masih minta advis pada “sesepuh”.
Bahkan acara tertentu, yang dianggap sakral, saya masih bertanya. Mungkin sekadar mencocokkan apa yang saya bahas dan tentukan dengan istri tidak jauh beda. Soalnya, akhirnya, yang akan menanggung risiko kita-kita.
Sabtu dan Minggu kemarin ada yang nikah. Akad nikah mengambil hari lain. Sabtu dan Minggu, bagi pegawai negeri, libur. Resepsi pernikahan tidak mengganggu hari kerja.
BACA JUGA:Pemkab Optimalkan Peran PPID
Namun, kerap ada yang mengeluhkan, urusan kostum jadi pertimbangan. Sedangkan di hari kerja bisa menggunakan uniform.
Seorang teman membuat postingan yang agak bombastis. Iduladha, atau orang Sunda menyebutnya "rayagung", banyak digunakan untuk melangsungkan kenduri.
Orang-orang melakukan selamatan pernikahan dan khitanan anak atau cucu. Memang ini sudah mengurat mengakar di masyarakat. Saya belum menelusurinya. Sebuah tradisi turun temurun. Kita seolah sulit menolaknya.
Saya pernah mendampingi sejumlah mahasiswa Fakultas Ilmu Budaya Universitas Indonesia melakukan survei berkaitan dengan cara mengundang di sebuah desa di Kuningan.
BACA JUGA:Mutasi Masih dalam Kajian
Kajian yang dilakukan Santri Handayani berjudul “Tradisi Mengundang dengan Menggunakan Rokok di Desa Gunungkeling” dengan subjudul "Cerminan Kearifan Lokal Masyarakat Sederhana".
Undangan dengan menggunakan rokok ini sudah berlangsung lebih dari setengah abad. Masyarakat menggunakan rokok merek tertentu.
Ini hanya berlaku bagi warga setempat. Dulu, sebelum rokok pabrik ada, masyarakat menggunakan daun kawung yang dilinting dan diisi tembakau. Namun, undangan bagi warga yang berada di luar desa, tetap menggunakan kertas.
Satu minggu sebelum kenduri akan diadakan “talilitan”, syukuran sekaligus pemberitahuan si pengundang akan memiliki hajat.