Situasi HAM di AS: Diskriminasi, Kekerasan Senjata, dan Kebijakan yang Mencemaskan

Petugas keamanan menyisir area toko swalayan King Soopers, yang menjadi lokasi penembakan masal, di Boulder, Colorado, Denver, Amerika Serikat, Senin (22/3).-ANTARA/REUTERS/Kevin Mohatt/foc-radar cirebon

BACA JUGA:Penyelamatan Dramatis di Kuningan, Perajin Pabrik Bata Merah Terjepit Mesin Penggiling Tanah

Permasalahan utama mengenai penahanan massal dan kerja paksa menjadikan negara ini sebagai "negara penjara". Amerika Serikat adalah rumah bagi 5 persen populasi dunia, tetapi juga menampung 25 persen tahanan dunia, sehingga menjadikannya negara dengan tingkat pemenjaraan tertinggi dan jumlah orang yang dipenjara terbesar secara global.

Penjara memaksa narapidana untuk bekerja dengan upah rendah atau tanpa bayaran, tanpa tunjangan, sambil menghasilkan barang dan jasa senilai miliaran dolar setiap tahunnya. Dua partai di Amerika Serikat, Partai Demokrat dan Partai Republik, terus memanipulasi pemilu.  

Pada hari pembukaan Kongres AS ke-118 pada bulan Januari 2023, Dewan Perwakilan Rakyat menghadapi "Krisis Pembicara", dan 2023 merupakan titik terendah bagi produktivitas Kongres sejak Perang Saudara Amerika.

Kedua partai terus mengubah cara mereka memanipulasi dan mendistorsi opini publik demi kepentingan partai. Terdapat 16 negara bagian yang mengalami manipulasi signifikan terhadap batasan-batasan di dalam distrik kongres dan 12 di antaranya merupakan negara bagian yang mengalami manipulasi serius terhadap distrik kongres secara keseluruhan.

BACA JUGA:Struktur PDIP Cigugur Dukung Rana Suparman Direkomendasi Calon Bupati Kuningan

Masyarakat di Amerika Serikat sangat kecewa dengan pemerintah federal dan politik di semua tingkatan. Secara mengejutkan, 76 persen warga Amerika percaya bahwa negara mereka berada di arah yang salah.
Etnis minoritas di Amerika Serikat menghadapi diskriminasi rasial yang sistematis, seiring dengan masih adanya penyakit kronis rasisme.  

Orang Amerika keturunan Afrika tiga kali lebih mungkin dibunuh oleh polisi dibandingkan orang kulit putih, dan 4,5 kali lebih mungkin dipenjara. Hampir tiga perempat warga Amerika keturunan China pernah mengalami diskriminasi rasial dalam satu tahun terakhir, dan 55 persen khawatir bahwa kejahatan rasial atau pelecehan akan membahayakan keselamatan pribadi mereka.  

Penduduk asli Amerika terus-menerus hidup dalam penindasan budaya, dengan keyakinan agama dan praktik tradisional mereka yang dikekang dengan kejam. Ideologi rasis menyebar dengan ganas di Amerika Serikat dan menyebar ke seluruh negara bagian. Meningkatnya kesenjangan ekonomi dan sosial membuat kehidupan masyarakat miskin semakin sulit.

Amerika Serikat menolak meratifikasi Kovenan (Hukum) Internasional tentang Hak Ekonomi, Sosial dan Budaya. Kesenjangan kekayaan telah mencapai rekor tertinggi sejak Depresi Besar 1929 yang dirancang secara sistematis untuk mengeksploitasi masyarakat miskin, mensubsidi masyarakat kaya, dan memisahkan kelas-kelas.  “Pekerja miskin” yang terjebak dalam kemiskinan struktural tidak mempunyai kesempatan yang sama dan sulit untuk naik ke tingkat yang lebih tinggi.

BACA JUGA:Persiapan Idul Adha, Warga Pancalang Sesaki Pasar Murah

Setidaknya 149 migran tewas di wilayah patroli perbatasan El Paso dalam 12 bulan yang berakhir pada 30 September 2023. Pada tahun fiskal 2023, jumlah imigran yang ditangkap atau dideportasi di perbatasan selatan AS mencapai lebih dari 2,4 juta, yang merupakan rekor lain tinggi.

Para migran juga menjadi sasaran penyiksaan dan bentuk-bentuk perlakuan tidak manusiawi lainnya. Kebijakan perbatasan AS memfasilitasi perbudakan modern. Kebijakan perbatasan pemerintah AS memperburuk masalah perdagangan manusia. Anak-anak migran tanpa pendamping menderita akibat kerja paksa dan eksploitasi yang brutal.

Amerika Serikat telah lama menerapkan hegemonisme, mempraktikkan politik kekuasaan, dan menciptakan krisis kemanusiaan.  Setelah serangan 9/11, Amerika Serikat melakukan operasi “kontra-terorisme” di luar negeri, aksi tersebut memicu korban tewas sebanyak 4,5 hingga 4,7 juta jiwa.

Militer AS melanggar kedaulatan dan hak asasi manusia negara lain melalui program "pasukan proksi" dan terus memberikan senjata ke zona konflik, sehingga mengakibatkan banyak korban sipil. Menurut laporan tersebut, disebutkan Penjara Guantanamo yang terkenal melanggar hak asasi manusia juga masih beroperasi di AS.

Tag
Share