Berkurban Bukti Kesyukuran

ilustrasi--

Oleh: H Imam Nur Suharno*

HARI Raya Idul Kurban segera tiba. Momen Idul Kurban hendaknya dijadikan sarana untuk mengecas kembali semangat berkurban sebagai bukti kepedulian sosial.

Terlebih lebih ketika kondisi perekonomian masyarakat yang sedang tidak baik-baik saja.  

Dalam Alquran surah Al-Kautsar (108) ayat 1-2 ditegaskan bahwa, setelah disebutkan kenikmatan yang besar, Allah memerintahkan kepada hamba-Nya untuk mendirikan shalat dan berkurban sebagai bukti rasa syukur atas nikmat-nikmat itu. Hal ini ditegaskan pula dalam surah Al-Hajj (22) ayat 34. 

BACA JUGA:Angka Perceraian Kembali Naik

“Dan bagi tiap-tiap umat telah Kami syariatkan penyembelihan (kurban), supaya mereka menyebut nama Allah terhadap binatang ternak yang telah direzekikan Allah kepada mereka ….”

Saking pentingnya perintah melaksanakan kurban, Rasulullah SAW dengan bahasa tegas dan lugas, disertai ancaman menegaskan, “Barang siapa yang mempunyai kemampuan tetapi ia tidak berkurban, maka janganlah mendekati tempat shalat kami.” (H.r. Ahmad dan Ibnu Majah).

Rasulullah SAW bersabda, “Barangsiapa mendapatkan kelapangan dalam rezeki namun tidak mau berkurban maka janganlah sekali-kali mendekati masjid kami.” (HR. Ahmad).

Dalam hadis itu Rasulullah SAW melarang seseorang yang memiliki kelapangan rezeki untuk mendekati tempat shalat (masjid) jika tidak mau berkurban. Hal ini menunjukkan, seakan-akan tidak ada faidah seseorang mendekatkan diri kepada Allah bersamaan dengan meninggalkan kewajiban berkurban.

BACA JUGA:Pastikan Keberangkatan Calhaj Aman dan Lancar

Kurban pada hakikatnya tidak sekadar mengalirkan darah binatang sembelihan, tidak hanya memotong hewan kurban, tetapi lebih dari itu, berkurban berarti ketundukan seorang hamba secara totalitas terhadap perintah Allah SWT dan sikap menghindar dari yang dilarang-Nya.

Berkurban juga berarti menyembelih sifat-sifat hewani yang melekat dalam diri setiap manusia. Karena itu, sangatlah berat, tidak setiap orang yang berkurban mampu melakukannya kecuali yang menyadari bahwa semua yang dimiliki itu --baik berupa harta, jabatan, pengikut, keluarga, dan popularitas-- hanyalah titipan-Nya yang tidak layak untuk disombongkan, dan dapat diambil kapan saja jika ia menghendaki.

Apabila sikap (kesadaran) tersebut telah dimiliki setiap orang, niscaya akan tercipta keseimbangan (at-tawazun) dalam tatanan kehidupan masyarakat, bangsa, dan negara.

Bagi seorang pengusaha, ia akan berkurban dengan bisnis yang halal dan akan memberikan hak kepada karyawan sebelum keringatnya mengering. 

Tag
Share