Hapus Wawancara Seleksi PPK dan Panwascam

Ilustrasi--

BACA JUGA:Tak Puas Keputusan Bawaslu, H Suryana Terus Melawan

Jika seperti itu adanya kita buta terhadap kemampuan peserta yang lolos. Apakah mereka bisa bekerja baik atau tidak, bisa bekerja dengan amanah atau tidak.

Apakah mereka orang netral atau tidak (berpolitik praktis). Bukannya suudzan, siapa sangka mereka merupakan bagian dari partai A atau atau partai B. Kita tidak mengetahui kehidupan politiknya. Siapa sangka mereka bagian dari ormas C atau ormas D.

Masalahnya opini di luaran menyebutkan jika ingin berpartisipasi menjadi petugas pemilu harus jelas gerbongnya. Jika gerbongnya abu-abu atau gerbongnya beda dengan gerbong yang sedang berkuasa, janganlah berharap lulus.

Kasus seperti ini harus menjadi perhatian kita bersama terutatama KPUD (Komisi Pemilihan Umum Daerah) dan Bawaslu (Badan Pengawas Pemilu) kabupaten.

BACA JUGA:Aston Cirebon Kembali Gelar Donor Darah Tanggal 10 Juni, Kegiatan Rutin 3 Bulan Sekali

Mengapa bisa terjadi seperti ini. Bahkan ini bukan yang pertama. Karena pada periode-periode sebelumnya juga sama.

Mari kita pelajari kasus ini demi tegaknya rasa keadilan di masyarakat. Pertama, pemilik gerbong jangan merasa paling berjasa dan paling berkuasa di era demokrasi ini. Jika terjadi mosi tidak percaya dari rakyat, gerbong itu mau diisi apa.

Meski selama ini panitia meneriakan berjuang demi rakyat, toh rakyatlah yang punya suara. Dan yang terpenting adalah fasilitasnya (honorarium, uang bintek, uang sosialisasi, uang monitoring, biaya operasional, dan biaya lain-lain). Tanpa itu semuanya imposible.

Makanya para pemuda berduyun-duyun mengadu nasib di Pilkada 2024. Dengan berbagai disiplin ilmu yang beragam mereka siap untuk berkompetisi.

BACA JUGA:Timbulkan Keresahan, Pengemis dan Gelandangan Kena Razia Tim Sat Pol PP

Sayangnya banyak yang sudah titip. Bagaimana ceritanya seorang lulusan S1 dari universitas ternama bisa kalah oleh lulusan SLTA pada seleksi yang diselenggarakan oleh KPUD dan Bawaslu.

Dengan tidak bermaksud merendahkan pengetahuan seseorang, secara teoritis S1 lebih unggul dari SLTA, meski nyatanya ada juga lulusan SLTA mengungguli S1.

Ini karena faktor rekam jejak. Namun karena prosentasinya kebangetan (keterlaluan). Ternyata penyakitnya ada di wawancara.

Oleh karena itu pelaksanaan wawancara dalam seleksi sejenis di masa mendatang sebaiknya jangan dilakukan. Alasan pertama, wawancara ini sangat rentan akan terjadinya subyektivitas.

Tag
Share