Jumat, 08 Nov 2024
Network
Beranda
Headline
Berita Utama
Wacana
Aneka Berita
Metropolis
Kabupaten
Kabupaten Cirebon
Kabupaten Kuningan
Kabupaten Indramayu
Kabupaten Majalengka
All Sport
Nasional
Internasional
Jawa Barat
Network
Beranda
Wacana
Detail Artikel
Seberapa Sering Kebohongan Terucap?
Reporter:
Bambang
|
Editor:
Bambang
|
Senin , 13 May 2024 - 17:16
Ilustrasi--
seberapa sering kebohongan terucap? oleh: syarifuddin judul di atas adalah pertanyaan yang diutarakan kepada diri saya sendiri. kebohongan seolah dengan lancar terucap tanpa merasa hal itu sebagai ketidakpatutan. dogmatisasi agama yang mengatakan bahwa “… mereka mendapat azab yang sangat pedih karena mereka selalu berdusta” seolah dianggap oleh diri saya sebagai angin lalu. kebohongan, dalam praktik komunikasi, bisa jadi dianggap sebagai keniscayaan yang mewarnai dinamika sosial sehari-hari. baca juga: 100 umkm ikuti cirebon festival, ada launching cirebon extrade hub dan umkm naik kelas terlepas dari berbagai alasan yang melatarbelakangi diri untuk mengucapkan kebohongan, filsafat telah memandang ini sebagai sebuah dilema yang telah berusia sangat panjang. apabila kebohongan yang terucap secara individu memiliki sekian dampak pada keutuhan harmoni sosial, lalu bagaimana dengan kebohongan yang bersifat institusional? etika kebohongan: sebuah pandangan filsafat sulit untuk dibantah bahwa kebohongan diucapkan semata-mata untuk menciptakan makna yang bernilai positif bagi sudut pandang penuturnya. baca juga:sejarah manis pilwalkot 2003, koalisi pan dan pdi p bakal terulang? nilai positif tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk melindungi kepentingan diri penutur ataupun berbagai kebutuhan lainnya. sebagai sebuah pengonstruksian makna, kebohongan tentu saja disusun oleh kata. kata selalu diibaratkan sebagai rumah bagi makna. kemudian, adab mengajari kita bahwa rumah sudah sepatutnya necis (rapi), tidak peduli siapa atau berapa banyak penghuninya. oleh sebab itu, dalam mengucapkan kebohongan, hal yang paling mendasar adalah memastikan kata-kata yang diucapkan rapi dan tersusun menjadi kalimat yang baik agar tujuan dari kebohongan dapat dicapai. baca juga:kumpulkan ktp sejak 2020, h suryana maju pilwalkot lewat jalur independen artinya, sebuah kebohongan pasti dibekali dengan seperangkat kesiapan argumentatif dan struktur bahasa yang diupayakan terbaik agar pendengar terhalang dari kebenaran sesungguhnya. berbohong, akhir-akhir ini, tampaknya kadung dianggap sebagai praktik yang dianggap sebagai tindakan tidak berbahaya. padahal, praktik berbohong sejatinya menimbulkan pertanyaan etika yang memerlukan pertimbangan sangat cermat. dua tradisi besar pemikiran ihwal kebohongan diusung oleh plato (yang berusaha membenarkan kebohongan dalam keadaan tertentu) dan aristoteles (yang mengutuk semua kebohongan). baca juga:usulan dari bawah terutama tokoh inbar, pks usung rizqi amali dalam pilbup indramayu anggapan bahwa semua bentuk kebohongan adalah buruk selanjutnya lekat dengan cara pandang kaum absolutis moral semisal agustinus, aquinas, dan kant. immanuel kant, seorang filsuf kenamaan asal jerman, secara tegas menentang toleransi terhadap segala jenis kebohongan. mungkin terdengar terlalu naif bahwa seseorang menolak keras praktik berbohong tetapi kant meyakini bahwa kebohongan selalu salah, apapun konsekuensinya. konsekuensi yang dimaksud tentu saja mengenai realitas bahwa kebohongan memiliki pertentangan dengan moralitas. baca juga:belum tahu siapa yang akan diusung dalam pilbup, yakin menang, 3 partai ini resmi berkoalisi kebohongan, sebagai sebuah kepalsuan, sejatinya memiliki bahaya yang melekat. dengan berpijak pada pandangan kant, berbohong merupakan praktik penghinaan langsung terhadap prinsip “memperlakukan manusia dengan hormat”. kant menekankan hal tersebut dengan mengatakan “don’t tell someone a lie, because then you are not treating the person with respect, as an individual”. kerangka etika kant melihat bahwa praktik berbohong sangat membahayakan martabat dasar dari orang yang dibohongi. secara lebih sederhana, kant mengajak kita untuk berempati terhadap individu yang dibohongi dengan membayangkan diri kita sendiri berada pada situasi yang serupa (menjadi pihak yang dibohongi). baca juga:kasus perundungan di tingkat sekolah meningkat, ortu dan guru harus berperan aktif perspektif ini tentu saja menentang landasan moral dari berbohong dengan menyatakan bahwa jika seseorang merenungkan dampak kebohongan yang sama yang ditujukan pada dirinya sendiri, seseorang akan mempertimbangkan kembali tindakannya. kant juga senantiasa meyakini bahwa kebohongan sangat dekat dengan ‘slippery slope’ (lereng licin) yang mengakibatkan sebuah tindakan ketidakjujuran yang kecil akan terus berkembang menjadi kebohongan yang lebih besar dan menghasilkan jaringan kebohongan dengan konsekuensi yang meluas. berbohong dan konflik moral praktik kebohongan, yang telah ada sepanjang sejarah peradaban manusia, menghasilkan dilema etika dan konflik antarpribadi. baca juga:banyaknya kasus kekerasan terhadap anak, ini yang dilakukan polresta dan tokoh agama masalah yang melekat pada kebohongan terletak pada potensinya untuk menciptakan masalah, bukan menyelesaikannya. berbohong jarang menghasilkan kesuksesan yang hakiki, dan konsekuensi akhirnya, baik besar atau kecil, bisa sangat parah. selama ini telah banyak berlaku skema pembuktian kebohongan. misalnya, saat seseorang mulai berbohong, tubuhnya mengirimkan sinyal kontradiktif untuk menyebabkan otot wajah berkedut, ekspansi dan kontraksi pupil, keringat, kemerahan pipi, peningkatan kedipan mata, tremor tangan, dan peningkatan detak jantung. ini merupakan dasar dari instrumen pendeteksi kebohongan. selain itu, gerakan tertentu yang dibuat secara tidak sadar terlihat pada mereka yang berbohong, seperti penutup mulut yang konstan, menyentuh hidung, menggosok mata, menggaruk sisi leher yang tidak gatal, dan mengusap telinga. salah satu tanda paling jelas adalah bahwa pembohong itu menutup telapak tangannya dan mengalihkan pandangan matanya ke arah lain ketika berbicara, untuk menghindari kontak mata. baca juga:warga minta perbaikan jalan jangan asal, baru sebentar rusak lagi kebohongan yang dilakukan ini umumnya memiliki tujuan yang berbeda, namun persamaannya adalah karena memiliki tujuan untuk menyembunyikan kebenaran. kita tentu lazim mendengar istilah “berbohong untuk kebaikan”. praktik berbohong semacam ini dianggap berterima karena biasanya tidak menyakiti siapapun. bahkan, kebohongan jenis ini juga dianggap sebagai kewajiban moral terutama jika tujuannya adalah untuk melindungi orang yang dicintai dari bahaya. bersandar pada kerangka berpikir ini, tampaknya ‘berbohong untuk kebaikan’ dapat diterima, bahkan diperlukan, dan menjadi bagian dari kehidupan; walaupun bisa jadi kita tidak menyukai kebohongan. baca juga:pemilu awal radar cirebon: eti masih teratas, tapi yang abstain juga banyak kerangka berpikir semacam ini menyisakan pertanyaan yang lebih luas, yaitu apakah berbohong merupakan solusi yang berkelanjutan dan etis terhadap dilema moral yang kompleks? konsensus yang ada saat ini menunjukkan bahwa hal tersebut tidak terjadi. bahaya yang melekat pada kebohongan, konsekuensi yang rumit, dan terkikisnya kepercayaan yang diakibatkannya menjadikan praktik ini tidak berkelanjutan dan patut dipertanyakan secara moral. bahkan, ada keyakinan bahwa kesuksesan yang dibangun di atas kebohongan sangatlah rapuh dan sering kali hancur ketika kebenaran muncul ke permukaan. sebagian besar dari kita mungkin begitu sering nyaman mengucapkan hal-hal yang berselimut ‘berbohong untuk kebaikan’. baca juga:pilkada indramayu, pks usung rizqi amali meskipun mungkin sulit pada awalnya, otak kita seolah memaksimalkan potensinya untuk menyiapkan berbagai langkah berikutnya dalam rangka menjaga keberlanjutan kebohongan tersebut. tampaknya, hal tersebut yang menyebabkan adanya perubahan aliran darah ke area tertentu di otak yang memudahkan terciptanya kebohongan. secara lebih sederhana, kebohongan sekecil apapun memiliki kemungkinan untuk membuat otak tidak peka terhadap ragam emosi yang menyertainya dan justru menstimulasi kebohongan-kebohongan yang lebih besar di masa mendatang. respons otak terhadap produksi kebohongan akhir-akhir ini telah menjadi subjek studi yang ramai dibicarakan pada berbagai jurnal bidang sistem saraf dan sistem neuron. baca juga:tiga parpol resmi bangun koalisi untuk pilbup cirebon fakta ilmiah menunjukkan bahwa kebohongan memiliki efek bola salju dan memiliki potensi untuk menciptakan adaptasi pada fungsi serta reaksi kimia pada otak ketika kebohongan diproduksi. hasil pemindaian mri pada otak dari orang-orang yang diminta melakukan kebohongan demi keuntungan pribadi menunjukkan bahwa amigdala (wilayah otak yang berhubungan dengan emosi) menerima aliran darah lebih besar ketika kebohongan pertama diproduksi. menarikanya, respons amigdala terhadap kebohongan menurun seiring dengan setiap kebohongan, meskipun besarnya kebohongan meningkat. dan yang paling penting, para peneliti mencatat bahwa penurunan aktivitas sinaptik yang lebih signifikan di amigdala adalah dasar untuk memprediksi kebohongan yang lebih besar di masa depan. baca juga:maju jalur independen, suryana serahkan dukungan ke kpu kota cirebon ketika kita berbohong demi keuntungan pribadi, amigdala kita menghasilkan perasaan negatif yang membatasi sejauh mana kita siap berbohong. namun, respons ini memudar ketika kita terus berbohong, dan menjadikan kebohongan semakin besar. hal ini dapat mengarah pada praktik berupa tindakan ketidakjujuran kecil yang meningkat menjadi kebohongan yang lebih besar. media sosial dan amplifikasi kebohongan michiko kakutani, dalam bukunya yang berjudul the death of truth: notes on falsehood in the age of trump (2018) meyampaikan bawa zaman ini adalah era matinya kebenaran dan kejayaan kebohongan. baca juga:pan-pdip bisa ulang kesuksesan pilwalkot 2003 konon, inilah era post-truth. dalam istilah lain, kondisi ini pada akhirnya akan memunculkan sebuah hiperrealitas. hiperrealitas adalah istilah yang digunakan oleh jean baudrillard (seorang filsuf komtemporer berkebangsaan perancis) untuk menjelaskan keadaan runtuhnya realitas; yang diambil alih oleh rekayasa model-model (citraan, halusinasi, simulasi), yang dianggap lebih nyata dari realitas sendiri sehingga perbedaan antara keduanya menjadi kabur. dalam ranah politik, kebohongan telah berumur sangat tua. menyampaikan informasi, yang sengaja atau tidak, bernuansa kebohongan seolah telah menjadi taktik dan strategi dalam berpolitik. kita tentu sudah terlalu sering mendengar narasi kebohongan yang diproduksi, dimodifikasi, dikemas, dan disebarluaskan untuk semata kepentingan politik tanpa peduli pada konsekuensi moral dan daya rusak yang ditimbulkannya. apalagi, di era media sosial hari ini, amplifikasi kebohongan seolah mencapai puncaknya. baca juga:7 nama serahkan formulir ke gerindra pada titik ini, para pelaku komunikasi politik seharusnya memiliki kesadaran penuh atas pilihan untuk berbohong atau tidak. algoritma media sosial, misalnya, membuat para pengguna media sosial hanya akan menerima informasi yang sesuai dengan preferensinya. inilah yang disebut sebagai efek echo chamber, yang menjadikan media sosial seolah menjadi ruang tertutup yang hanya memantulkan gema atau pandangan yang telah dipilih oleh para penggunanya. lebih jauh, pengguna media sosial juga cenderung lebih percaya kepada informasi (termasuk berita bohong atau hoaks) yang disebarluaskan oleh teman dekat atau kelompoknya. baca juga:bupati imron minta pkk dan dwp tingkatkan kualitas sdm hal ini yang menyebabkan sebuah informasi, meskipun sebenarnya hoaks, akan tetap menyebar melalui ruang-ruang privat media sosial. kondisi ini memunculkan apa yang disebut sebagai efek filter bubble (situasi ketika para pengguna media sosial cenderung hidup dalam gelembung keyakinannya sendiri. akibatnya, terjadilah polarisasi masyarakat dalam realitas media sosial yang berpotensi memunculkan polarisasi dalam kehidupan nyata. akibat paling fatal dari amplifikasi kebohongan adalah luruhnya batas antara kebenaran dan kebohongan. akal sehat menjadi lumpuh. baca juga:bupati imron buka pameran keris nasional daya kritis terhadap sebuah informasi mati seketika. yang mengemuka kemudian hanya sebatas opini, emosi, keyakinan pribadi, dan kepentingan pribadi. kalau hal ini sampai terjadi, maka benarlah apa yang sedari dulu telah diucapkan oleh jozef goebbels (menteri propaganda pada era nazi jerman), yaitu "sebarkan kebohongan berulang-ulang kepada publik. kebohongan yang diulang-ulang akan diterima sebagai kebenaran”. dalam realitas masyarakat yang memandang kebohongan sebagai kebenaran seperti ini, sungguh diperlukan kemampuan mengambil jarak, melihat fakta secara jernih dan menimbang kebenaran. kebohongan dalam komunikasi politik baca juga:beranikah batalkan perda pbb-p2? di awal telah banyak disinggung bahwa kebohongan pribadi akan merusak harmoni antarpribadi. selain itu, ada juga pertentangan moral yang menimbulkan penghinaan terhadap martabat dari orang yang dibohongi. dalam konteks politik, kebohongan memiliki potensi menciptakan polarisasi terhadap eksistensi sebuah informasi. polarisasi tersebut yang menyebabkan terciptanya konflik dan perbedaan pandangan politik yang ekstrem. post-truth dan hiperrealitas adalah keniscayaan dalam penurunan kapasitas masyarakat secara umum dalam menimbang kebenaran sebuah informasi. di sisi lain, politik, insititusi politik, atau jabatan politik pasti mengedepankan citra (image) untuk memancing dampak elektoral dan kemudian mempertahankan kekuasaan. baca juga:cifest kick off harlah ke-597 cirebon padahal, citra hanyalah sesuatu yang ditangkap secara perseptual dan tidak memiliki eksistensi substansial. sebagaimana telah disampaikan di awal, kebohongan adalah fondasi yang ringkih dalam membangun sebuah realitas. pencapaian politik, sebaik dan seburuk apapun, idealnya dapat disampaikan secara jelas dengan menghilangkan niat membohongi atau memanipulasi sebuah fakta politik. kebohongan, baik dalam kacamatan filsafat immanuel kant dan wacana etika kontemporer, adalah sebuah praktik yang memiliki sifat sangat rumit. berbohong, apa pun niatnya, penuh dengan kompleksitas moral dan konsekuensi potensial. baca juga:ratusan siswa mengikuti casting film layar lebar berbohong, dengan alasan menjaga citra politik, tidak pernah dapat dianggap baik karena tetap ada pengkhianatan terhadap moral (penghormatan terhadap martabat orang lain). seorang pejabat politik mungkin saja melalukan kebohongan yang bersifat protektif (melindungi kepentingan yang lebih besar). alasan-alasan ini dapat mencakup masalah keamanan, kepentingan politik, mempertahankan kekuasaan, atau mengendalikan opini publik. namun, hal tersebut tetap saja tidak dapat dibenarkan. namun, penting untuk dicatat bahwa tidak semua institusi politik atau pejabat politik melakukan kebohongan yang disengaja. baca juga:masjid raya attaqwa gelar rapat koordinasi mra banyak tindakan yang dimotivasi oleh faktor-faktor kompleks yang mungkin tidak dapat secara langsung dilihat oleh kita (masyarakat). oleh sebab itu, transparansi, akuntabilitas, dan komunikasi terbuka merupakan prinsip penting untuk menjaga kepercayaan. meskipun moralitas kebohongan mungkin memiliki perspektif yang bertentangan, praktik dan nilai kebohongan selalu muncul dalam praktik komunikasi kita dalam berbagai konteks. esai ini ingin menunjukkan bahwa “mengucapkan kebenaran” tidak hanya masuk akal secara etis tetapi juga mengandung nilai intrinsik (pilihan moral masing-masing pihak). baca juga:wajah baru osg memberikan kontribusi positif bagi daerah pilihan ada pada kita masing-masing, menjadi manusia yang bermoral, menjadi manusia politik yang bermoral, atau menjadi manusia yang berkompromi pada praktik kebohongan. namun, esai ini ingin menegaskan kembali bahwa, dalam menavigasi lanskap moral kebohongan, kita akan mendapati bahwa “mengucapkan kebenaran” adalah bentuk pemberian rasa hormat dan penerimaan rasa hormat secara bersamaan. (*) penulis adalah penelaah teknis kebijakan (klerek) pada bagian protokol dan komunikasi pimpinan, sekretariat daerah kota cirebon
1
2
3
4
»
Last
Tag
Share
Koran Terkait
Kembali ke koran edisi Radar Cirebon 14 Mei 2024
Berita Terkini
Kolaborasi Pengentasan Permukiman Kumuh
Metropolis
3 jam
Walikota dan DPRD Bisa Tidak Gajian
Metropolis
3 jam
Kejanggalan Gedung Setda Kota Cirebon Sempat Diincar KPK
Headline
3 jam
Evaluasi Debat Pilkada Kota Cirebon: Tak Boleh Bawa Contekan, Lokasinya di Kabupaten Cirebon
Headline
3 jam
Mengenal Soerjadi Soerjadarma, Keturunan Kanoman Cirebon yang Jadi Perintis AURI
Headline
4 jam
Berita Terpopuler
Evaluasi Debat Pilkada Kota Cirebon: Tak Boleh Bawa Contekan, Lokasinya di Kabupaten Cirebon
Headline
3 jam
Guru Banyak yang Stres?
Wacana
7 jam
Kejanggalan Gedung Setda Kota Cirebon Sempat Diincar KPK
Headline
3 jam
Kuwu Ciwaringin Diberhentikan Sementara, Diduga Selewengkan Dana APBDes
Headline
8 jam
Walikota dan DPRD Bisa Tidak Gajian
Metropolis
3 jam
Berita Pilihan
Timnas Indonesia Resmi Jadi Tuan Rumah saat Kontra Bahrain, Menpora: Tidak Datang, WO
Headline
2 minggu
Timnas Indonesia Kalah Lawan China, Shin Tae Yong Beri Penjelasan Berikut
All Sport
3 minggu
Ranking FIFA Timnas Indonesia Anjlok, Hasil Arab Vs Bahrain Untungkan Indonesia
All Sport
3 minggu
Inilah Update Rangking FIFA Timnas Indonesia Terbaru Usai Tahan Imbang Bahrain
All Sport
3 minggu
Timnas Indonsia Turunkan Kekuatan Penuh, Yakin Bisa Curi Poin dari Bahrain
All Sport
1 bulan