Seberapa Sering Kebohongan Terucap?
Ilustrasi--
Oleh: Syarifuddin
JUDUL di atas adalah pertanyaan yang diutarakan kepada diri saya sendiri. Kebohongan seolah dengan lancar terucap tanpa merasa hal itu sebagai ketidakpatutan.
Dogmatisasi agama yang mengatakan bahwa “… mereka mendapat azab yang sangat pedih karena mereka selalu berdusta” seolah dianggap oleh diri saya sebagai angin lalu.
Kebohongan, dalam praktik komunikasi, bisa jadi dianggap sebagai keniscayaan yang mewarnai dinamika sosial sehari-hari.
BACA JUGA: 100 UMKM Ikuti Cirebon Festival, Ada Launching Cirebon Extrade Hub dan UMKM Naik Kelas
Terlepas dari berbagai alasan yang melatarbelakangi diri untuk mengucapkan kebohongan, filsafat telah memandang ini sebagai sebuah dilema yang telah berusia sangat panjang.
Apabila kebohongan yang terucap secara individu memiliki sekian dampak pada keutuhan harmoni sosial, lalu bagaimana dengan kebohongan yang bersifat institusional?
Etika Kebohongan: Sebuah Pandangan Filsafat
Sulit untuk dibantah bahwa kebohongan diucapkan semata-mata untuk menciptakan makna yang bernilai positif bagi sudut pandang penuturnya.
BACA JUGA:Sejarah Manis Pilwalkot 2003, Koalisi PAN dan PDI P Bakal Terulang?
Nilai positif tersebut berkaitan dengan kebutuhan untuk melindungi kepentingan diri penutur ataupun berbagai kebutuhan lainnya.
Sebagai sebuah pengonstruksian makna, kebohongan tentu saja disusun oleh kata. Kata selalu diibaratkan sebagai rumah bagi makna.
Kemudian, adab mengajari kita bahwa rumah sudah sepatutnya necis (rapi), tidak peduli siapa atau berapa banyak penghuninya.
Oleh sebab itu, dalam mengucapkan kebohongan, hal yang paling mendasar adalah memastikan kata-kata yang diucapkan rapi dan tersusun menjadi kalimat yang baik agar tujuan dari kebohongan dapat dicapai.