Sebuah Catatan di Penghujung Pemilu 2024

Ilustrasi-Edward Ricardo-CNBC Indonesia

Namun, jika jumlah penduduk meningkat, partisipasi rakyat tidak secara langsung, melainkan melalui mekanisme demokrasi perwakilan dan para wakil ini harus mengedepankan integritas dan kapasitasnya sebagai penyambung lidah rakyat.

Seperti diingatkan Aristoteles; perbedaan manusia dengan hewan, selain kekuatan bicara, adalah kemampuannya untuk membedakan antara yang adil dan yang zalim, yang baik dan yang buruk. Seiring dengan itu, eksistensi negara sebagai institusi manusia pun memiliki tujuan moral. 

BACA JUGA:STOP! Lakukan Aktifitas Kampanye di Masa Tenang

Dalam memenuhi tujuan moral keadilan dan kebajikan kenegaraan, para aspiran kekuasaan perlu menyadari bahwa tidak ada seorang pun, bahkan figur berjasa sekalipun, yang lebih besar dari negara. Alhasil, negara dan peraturannya jauh lebih utama ketimbang perorangan. 

Menurut Aristoteles, untuk menjamin keadilan, ”tidak ada seorang pun yang boleh memerintah lebih lama dari pengalaman diperintah”.

Dengan demikian, semua orang berhak mendapat gilirannya. Janji ”mewakafkan diri” untuk kepentingan negara sungguh mulia, tetapi tidak bisa menjadi justifikasi untuk mengabsahkan seseorang bisa (terus) berkuasa. 

Itulah sebabnya mengapa di negara-negara demokrasi mapan, jika seorang sudah selesai mengemban jabatan presiden, mereka akan kembali sebagai rakyat biasa; bisa menahan diri untuk tidak terus mengurusi kekuasaan dan kepartaian. Dengan begitu, ada ruang bagi new generation untuk memimpin secara berkesinambungan dan berkeadilan.

BACA JUGA:Prakiraan BMKG di Hari Pencoblosan Hujan, Lokasi TPS Bisa di Gedung Sekolah

Michel Foucault menegaskan, ”Pemerintah, oleh karena itu, memerlukan lebih dari sekadar usaha mengimplementasikan prinsip-prinsip umum pemikiran, kebijaksanaan, dan kehati-hatian.

Pengetahuan spesifik tentang tata kelola pemerintahan juga sangat diperlukan; pengetahuan konkret, tepat, dan terukur.”

Namun faktanya di Indonesia, betapa pun ahlinya (apalagi bukan ahli), politisi sering kali gagal memenuhi janjinya.

Lebih dari itu, tidak pernah ada sistem politik yang sempurna dan tidak tersedia calon wakil rakyat yang sesuai dengan harapan. Apalagi kekuasaan juga cenderung mendorong korupsi dan penyalahgunaan wewenang. 

BACA JUGA:APK Masih Bertebaran di Jalan, Bawaslu Sebut Kesadaran Parpol Masih Rendah

Dalam situasi demikian, mencegah keburukan berkuasa lebih baik diutamakan. Franklin P. Adams mengingatkan, ”Pemilu acapkali dimenangi kandidat tertentu bukan karena kebanyakan orang memilih untuk mendukung seseorang, melainkan untuk melawan seseorang.”

Maka tidak heran jika di Indonesia, pemilu memiliki fungsi kontrol sosial untuk mencegah mereka yang menyalahgunakan kekuasaan atau mereka yang memiliki rekam jejak dan kinerja buruk agar bisa (terus) berkuasa.

Tag
Share